top of page
Search

Venom: Parasit Memang Mengganggu (spoiler)

  • Writer: Sang Protagonis
    Sang Protagonis
  • Oct 17, 2018
  • 6 min read

Updated: Oct 18, 2018

Kalau anda mengira bahwa film adaptasi komik Marvel tidak akan mengalami hal yang serupa dengan apa yang terjadi oleh film adaptasi DC Comics di DC Cinematic Universe yang telah mereduksi superhero dan villainnya menjadi tokoh simplistik dan ngehe seperti Batman yang menjadi pahlawan malam kesiangan yang sok serius dan sok lucu di Justice League serta Joker yang berubah menjadi kriminal psikopat yang mabuk asmara di Suicide Squad, maka anda salah besar. Ini terjadi juga oleh Venom.



Jika anda seorang fans dari komik Marvel atau suka memainkan game Spiderman atau minimal pernah menonton film Spiderman 3 yang rilis tahun 2007, anda pasti tahu Venom (dan Eddie Brock) adalah salah satu karakter Marvel yang terkenal kompleks karena penggambarannya yang bisa menjadi villain, antihero, atau bahkan sekutu superhero. Yang terjadi di film ini adalah penistaan pada referensi asli karakter Venom dan pengkhianatan pada fans yang mengerti betul karakter apa yang mereka tonton.

Apa yang salah dari film ini ? Banyak. Semua aspek dari film ini kacau dan perkembangan plot, karakter, dan tema cerita tidak jelas. Eddie Brock digambarkan sebagai reporter terkenal yang telah menjatuhkan banyak orang, tapi justru terlihat lebih sebagai sosok pria edgy sok pahlawan yang tidak bisa pikir panjang. Menggambarkan Eddie Brock jatuh karena menuduh narasumber dengan hanya bermodal nama-nama dari dokumen rahasia di laptop kekasihnya adalah penggambaran reporter yang sembrono, terutama untuk reporter yang diceritakan telah diincar banyak orang di seluruh Amerika. Karena tindakan seperti itu bila dinalar dalam realita jurnalisme, itu adalah kesalahan besar. Meski untuk memberi kesan kejatuhan seorang protagonis, sama dengan Eddie Brock di komik yang salah mengungkap identitas kriminal, yang ada di film ini lebih sebuah konflik latar belakang yang murahan dan basi. Jatuhnya, tidak memberikan kesan simpatik pada Eddie, tapi memang lebih sebagai orang yang jatuh karena memang bodoh sebodohnya. Ini satu kegagalan film dalam aspek penggambaran Eddie Brock.

Bagaimana dengan Venom? Lebih parah. Venom ketimbang terlihat sebagai makhluk parasit psikopat yang ingin merasuki inangnya malah terlihat sebagai comic relief berwujud sidekick yang berusaha sadis tapi konyol dan innocent. Jatuhnya, Venom lebih mirip Hulknya Bruce Banner, cuma bedanya yang ini lebih hitam pekat menjijikan dan tukang makan (kepala) manusia. Yang lebih parah Venom di film ini menceritakan dirinya sebagai salah satu symbiote yang paling pecundang dibanding makhluk sejenisnya. Apaan ini? Kok curhat? Ini membuat saya tertawa kecut karena ini bukan Venom yang saya tahu, tapi ini adalah alien hitam baperan yang cuma butuh teman curhat saja. Upaya untuk menunjukkan Venom sebagai alien psikopatik yang benar-benar asing, predatoris, dan amoral jelas sekali gagal. Entah ini yang memang mau ditunjukkan kepada penonton, yang jelas ini penggambaran Venom terbodoh yang pernah ada. Hubungan antara Eddie sebagai inang dan Venom sebagai parasit juga ngehe disini. Bukannya terlihat sebagai wujud pergulatan antara manusia depresi yang berusaha melawan sisi gelapnya dan alien parasit yang berusaha merasuki inangnya untuk tunduk padanya, ini malah terlihat seperti dua teman beda spesies yang jadi soulmate karena sama-sama pecundang di dunianya, seperti Jesse dan Willy Si Paus Orca di Free Willy atau Sam dan Bumblebee di Transformers. Tidak memberi kesan ngeri dan horor, malah jatuhnya lucu dan menggemaskan.

Relasi Eddie dan tokoh lainnya juga sangat simpel disini. Contohnya hubungan Eddie dan (mantan) pacarnya, Anne Weying. Anne digambarkan patah hati dan kecewa berat karena menganggap dirinya dikorbankan demi ambisi Eddie semata untuk menjatuhkan Carlton Drake. Namun, ketika tahu Eddie terjangkit parasit symbiote, Anne berusaha menyelamatkan dia. Well, meski sudah menyaksikan Eddie menghabisi pasukan SWAT sendirian. Saya tanya, wanita macam mana yang bakal masih peduli dan berani menyelamatkan mantan yang terakhir anda lihat sudah jadi alien ganas? Anne jelas digambarkan sebagai tokoh protagonis lover pada umumnya yang dalam kondisi apapun akan kembali ke tokoh utama dan mendukungnya dengan cara apapun sampai akhir film. Satu kata: basi.


Villain di film ini, Carlton Drake, sebenarnya potensial dari penggambaran karakternya sebagai milyuner karismatik namun ambisius, immoral dan cukup psikopat. Rela mempertaruhkan nyawa manusia hanya demi mencapai ambisinya untuk menciptakan simbiosis mutualisme antara manusia dan symbiote supaya manusia bisa ke luar angkasa. Sampai sini sebenarnya cukuplah untuk villain superhero kelas Hollywood. Tapi sungguh kasihan karena sosok Carlton Drake akhirnya jadi sia sia di akhir setelah “dirasuki” oleh Riot, symbiote seperti Venom yang ingin pulang dan kembali ke bumi dengan membawa symbiote lain untuk menjajah manusia. Alhasil, nasib Carlton Drake lebih seperti azab orang jahat di FTV tema dzolim ala Hidayah “Azab milyuner buang nyawa orang seenaknya ke symbiote, tubuhnya dirasuk oleh symbiote juga dan jasadnya terbakar oleh api neraka roket”. Intinya mati sebagai villain demi villain lain yang lebih remeh. Kasihan.

Epilognya juga tidak kalah tanggung dan makin cringe. Venom digambarkan seperti berpisah dan mati oleh api setelah mengalahkan Riot. Saya merasa lega saja karena apa yang sudah saya lihat dari awal sampai menuju ke akhir, Venom ini lebih baik hilang saja. Tanpa kejelasan cerita apapun ternyata Venom masih hidup di akhir bersama Eddie Brock. Ini maksudnya plot twist? Atau cuma “tearbait”? Tidak jelas.

Keputusan membuat film ini menjadi PG-13 menjadikan semua adegan aksi Venom semakin nanggung. Pembuat film tahu betul tendensi sadis dan chaotic Venom di beberapa penggambaran sebelumnya, seperti kebiasaan Venom memakan kepala. Kali ini mereka berusaha menjadikannya sadis namun tetap bisa diterima oleh semua penonton. Itu ibarat mengharapkan anak umur 13 tahun paham filsafat Nietzsche tanpa membuat mereka menjadi nihilistik dan pembangkang. Alias ga jelas dan nanggung. Yang terjadi adalah Venom terlihat kuat dan liar dalam aksinya tapi tidak sadis dan tidak menacing. Bahkan, adegan Venom memakan manusia atau mencabut kepala di sini lebih terlihat sebagai adegan kartun ala Looney Tunes. Kekerasan yang nonsense.


Dari keseluruhan plot, film ini tidak jelas apa yang mau ditunjukkan. Jatuhnya penipuan publik pada audiens karena bukannya terlihat sebagai action superhero dengan rasa thriller-horror, seperti yang ditampilkan di trailer, tapi justru menjadi komedi. Komedi yang tidak kita ekspektasikan namun juga yang bukan kita inginkan. Ini juga penistaan untuk fans Marvel yang punya ekspektasi lebih pada penggambaran Venom sebagai anti hero. Alih-alih berusaha menginterpretasikan dari apa yang ada di komik menjadi berbeda namun lebih, jadinya berbeda tapi medioker dan simplistik.


Jika anda menganggap bahwa penilaian ini subjektif karena menyangkut pautkan Venom disini dengan Venom sebelumnya, beranggapan bahwa Venom disini jelas berbeda dengan Venom sebelumnya baik di komik dan film terdahulu karena berusaha untuk memberikan interpretasi baru Venom maka mari kita asumsikan bahwa film ini bukanlah film adaptasi komik Marvel, tetapi sebuah film orisinil dari Ruben Fleischer. Esensinya tetap saja medioker. Mari kita lihat: Ada tokoh protagonis yang sukses terus jatuh dengan sendirinya? Centang. Ada sidekick protagonis yang sifatnya berlawanan dengan tokoh protagonis dan berperan sebagai comic relief? Centang. Protagonis putus sama mantan di awal terus baikan lagi? Centang. Villain yang psikopat terus kalah dan mati karena memang nasib? Centang. Ending yang tidak konsisten tanpa elaborasi yang jelas? Centang. Tokoh protagonis diperankan oleh aktor nominasi Oscar? Centang. PG-13? Centang. Ini semua adalah aspek-aspek umum yang ada di semua film aksi, bahkan tanpa harus ada bumbu superhero. Ada yang inovatif? Tidak ada. Masih menganggap ini interpretasi Venom yang berbeda? Jatuhnya malah nista.


Setidaknya ada beberapa hal yang perlu diapresiasi dari film ini dari semua kekacauan dan ketidakjelasannya. Salah satunya akting Tom Hardy. Momen ketika Eddie Brock jatuh depresi setelah dipecat oleh media, bersimbiosis dengan Venom, ekspresi tegang dan gugup saat berinteraksi dengan Venom, dan juga ekspresinya saat bersama mantan kekasihnya adalah beberapa adegan yang dieksekusi oleh Tom Hardy dengan berhasil. Ini memberikan kesan Eddie Brock memang karakter yang hidup dan kuat dari kepribadian, terlepas dangkalnya penulisan karakter Eddie oleh penulis skenario. Adegan pertarungan terakhir antara Eddie Brock dan Venom melawan Riot dan Carlton Drake sebenarnya terlihat estetik terutama adegan saat tubuh kedua symbiote setengah terurai di tengah pertarungan, menampikan manusia inang dan symbiotenya secara bersamaan, berdampingan dengan symbiotenya sendiri menghadapi musuhnya. Hanya saja adegan ini hanya sebentar.

Akhir kata, apa yang terjadi dari film Venom ini, yang saya katakan sebagai sebuah penipuan publik dan penistaan pada tokoh Venom dan Eddie Brock sebenarnya adalah dampak dari pemerahan karakter komik Marvel demi keuntungan pasar penonton yang berujung reduksinya esensi karakter tersebut beserta tema dan sumber aslinya yang ada. Keputusan eksekutif Sony untuk membuat Venom PG-13 dikarenakan ada rencana untuk menggabungkannya dengan franchise Spiderman supaya Venom bisa masuk pasar yang lebih luas. Ini membuktikan bahwa pasar Hollywood lebih mementingkan bagaimana memancing penonton sebesarnya tanpa mempertimbangkan bagaimana karakter itu dapat menjadi menarik dengan ciri khasnya sendiri. Ini menjadi ironi karena Venom yang digambarkan sebagai alien parasit yang memerah sisi kemanusiaan Eddie Brock untuk menjadi energi demi mengalahkan Spiderman, Venom disini justru diperah konsep karakternya untuk menciptakan pasar demi pasar yang lebih besar, yaitu pasar film Spiderman.


Deadpool akan meringis menonton ini dan berkata “Well, another lazy writing”.

 
 
 

Comments


Post: Blog2_Post

©2018 by protagonis. Proudly created with Wix.com

bottom of page