(Spoiler) A New Hope for Terminator or Literal Dark Fate
- Sang Protagonis
- Dec 13, 2019
- 10 min read
Kegagalan besar Genisys sebagai reboot Terminator di tahun 2015 menjadi alasan besar bagi James Cameron untuk kembali terlibat dalam franchise ini dengan merilis sekuel terbaru yaitu Dark Fate. Meski tidak kembali turun sebagai sutradara, Cameron tetap terlibat penuh dari penulisan skenario dan casting aktor dengan harapan Dark Fate menjadi penebusan dosa atas kegagalan sekuel terdahulu dan membuktikan bahwa hanya dialah yang mampu menciptakan sekuel Terminator yang sesungguhnya. Dark Fate tidak hanya sebuah sekuel dari Judgement Day, tapi juga sebagai reboot dengan meniadakan Rise of the Machines, Salvation dan Genisys dari official timeline. Tiga sekuel sebelumnya dianggap sebagai alternate timeline dan bukan lagi sebagai alur cerita yang sah. Arnold Schwarzenegger dan Linda Hamilton juga kembali di Dark Fate sebagai karakter yang mereka perankan sebelumnya. Pertanyaannya adalah apakah Dark Fate memang pantas menjadi sekuel yang layak? Atau malah berakhir seperti namanya, Dark Fate alias takdir yang gelap?
Bila anda belum menonton Dark Fate, saya sarankan untuk tidak melanjutkan membaca karena ulasan setelah ini akan penuh dengan spoiler.

Calon Pemimpin Masa Depan
Dark Fate mengambil keputusan yang sangat berisiko, yaitu membunuh John Connor di awal cerita. Sebuah keputusan yang nekad mengingat John Connor adalah tokoh paling penting di kisah Terminator karena takdir dan perannya menjadi pemimpin pemberontakan manusia terhadap Skynet sehingga membunuh John Connor berarti membuang salah satu premis penting kisah Terminator. Memang ini bukan yang pertama kalinya tokoh John Connor mengalami penurunan signifikansi dalam cerita. Di Rise of the Machine, John Connor tidak menjadi satu-satunya prioritas utama yang dilindungi, namun juga istrinya Katherine Brewster. Di Genisys, John Connor malah berubah menjadi villain T-3000. Tetapi dibanding kedua film sebelumnya, John Connor benar-benar dihapuskan signifikansinya dari kisah Terminator.
Alasan James Cameron membunuh John Connor yaitu untuk memberi latar cerita yang kuat untuk Sarah Connor setelah Judgement Day serta memberi ruang untuk tokoh baru di Dark Fate. Tim Miller, sutradara Dark Fate, juga merasa ragu melanjutkan cerita John Connor dengan membayangkannya berumur 30an, hidup di tahun 2019 dengan menjadi pekerja kerah putih yang menyedihkan karena kehilangan momentumnya sebagai pemimpin pemberontakan manusia melawan mesin.
Bagi saya, bisa saja membunuh John Connor untuk membangun latar cerita Sarah Connor meski ini masih kurang untuk menjadi alasan tepat membunuh John Connor. Namun bila membunuh John bertujuan untuk mengenalkan dan memberi ruang untuk calon pemimpin masa depan yaitu Dani Ramos, maka ini adalah salah satu atau bahkan blunder terbesar dari Cameron dan Miller dalam menulis cerita Dark Fate.

Dani di sini dikenalkan sebagai pekerja kerah biru yang hidup di Meksiko bersama ayahnya dan adik lelakinya. Kehidupannya tidak terlalu susah namun juga tidak terlalu sukses sebagai operator pabrik otomotif. Latar belakang seperti ini terlalu lemah untuk seorang yang ditakdirkan sebagai pemimpin masa depan karena tidak ada aspek hidup seperti sifat atau latar sejarah yang menonjolkan bahwa dia adalah calon pemimpin di masa depan. Memang sifat tokohnya independen dan berani, seperti saat dia memprotes atasannya karena pabrik banyak mengganti pekerja manusia dengan robot yang mengancam pekerjaan adiknya juga. Namun ini masih latar cerita seorang pemimpin yang datar dan sederhana. Tokohnya memang semakin berkembang sepanjang film dari sosok yang bingung dan panik dalam melihat ancaman menjadi sosok yang berani melawan dan tidak menyerah. Ini pun belum cukup untuk menggambarkan perkembangan psikologis seseorang yang ditakdirkan untuk menjadi pemimpin revolusi setelah kematian adik dan ayahnya. Apalagi di tengah cerita dia digambarkan oleh Grace sebagai seorang pemimpin revolusioner yang dapat merangkul ribuan manusia yang tercerai berai setelah perang nuklir. Seorang pemimpin yang dapat mengobarkan semangat revolusi kepada ribuan manusia yang putus asa melawan mesin jelas tidak hanya memiliki sifat yang nekat, (terlalu) optimis dan pantang menyerah. Tapi hanya itulah yang terlihat dalam tokoh Dani di sepanjang film. Corak penulisan tokoh yang basi dan klise ini bisa kita temukan di film manapun bahkan di film kartun anak-anak, tapi untuk level Terminator rasanya sangat dangkal. Seperti kata Deadpool (yang ironisnya pernah disutradarai oleh Tim Miller), that’s just lazy writing.
Di sinilah menghapus John dalam premis Terminator menjadi sebuah blunder. Latar belakang John Connor dari Terminator dan Judgement Day jauh lebih masuk akal dibanding Dani Ramos. John tidak hanya ditakdirkan sebagai pemimpin revolusi, tapi juga dipersiapkan oleh Sarah Connor untuk menjadi pemimpin di masa depan. Meskipun tidak diceritakan dengan detail dalam adegan film, Sarah sudah mendidik John sebagai pemimpin sejak kecil dengan menceritakan hari kiamat yang akan terjadi kedepannya. Kehidupan John juga lebih kelam dibandingkan Dani. Tidak punya sosok ayah, kehilangan ibunya yang dimasukkan ke bangsal RSJ dan hidup berantakan di bawah pengawasan orang tua asuhnya menunjukkan masa kecil John lebih banyak gejolak dan penuh kekhawatiran, sebuah latar belakang tokoh yang bagi saya lebih potensial untuk seorang pemimpin revolusi di hari kiamat.
Memang memasukkan John Connor ke setting 2019 yang pastinya sudah berumur 30an adalah hal yang sulit. Tapi bukan berarti mustahil. James Mangold mampu membuat Wolverine menjadi tokoh yang sangat menarik di Logan (2017) meskipun harus menampilkannya dalam kondisi yang lebih lemah, tua dan sakit-sakitan. Sekalipun John Connor memang harus digantikan oleh “penerus” yang lebih muda maka tetap saja terlalu sembarangan membunuh John di awal, memberi kesan bahwa John cukup dibuang ke tempat sampah karena terlalu usang tanpa memberikan tokoh ini suatu “perpisahan”.
Ini bukan masalah John Connor harus tetap di franchise ini atau tidak, tapi bila memang John Connor harus dipensiunkan maka berilah tokoh ini perpisahan yang sepantasnya dan buatlah tokoh yang jauh lebih menarik dari John. Bila Dark Fate tetap membutuhkan tokoh dengan peran pemimpin revolusi maka yang dibutuhkan adalah tokoh dengan latar belakang yang cukup untuk membuat psikologinya tumbuh sebagai pemimpin, bukan tokoh messianic yang muncul dengan segala kepribadiannya yang sempurna.
Ancaman dari Masa Depan
Sama halnya dengan John Connor, Skynet juga dipensiunkan dari Terminator dan diganti oleh versi yang “lebih muda” yaitu Legion. Setelah Cyberdyne Systems diledakkan di Judgement Day, Skynet hilang dari eksistensi. Sebaliknya ancaman baru bernama Legion datang di masa depan. Persamaan dari Skynet dan Legion adalah dua-duanya merupakan artificial intelligence untuk keamanan militer yang pada akhirnya merambat ke seluruh jaringan sistem komputer seluruh dunia dan menyebabkan perang nuklir. Perbedaan dari Skynet dan Legion? Entah. Keduanya hampir sama persis dan tidak ada perbedaan yang mencolok selain jaman terciptanya saja. Skynet tercipta untuk melawan potensi cyberwarfare di masa depan (dimana pra abad 21 teknologi belum semaju sekarang) sedangkan Legion diciptakan untuk menghadapi cyberwarfare di masa sekarang. Inilah masalah kedua dari film ini.
Untuk memahami Skynet sebagai entitas antagonis dalam Terminator, kita perlu menelusuri kembali konteks geopolitik dunia yang terjadi pada masa itu. Terminator 1 (1984) dan Judgement Day (1991) dibuat pada masa Perang Dingin antara Uni Soviet dan Amerika Serikat dimana perang nuklir menjadi suatu topik yang paling populer di kalangan masyarakat Amerika. Hal ini mempengaruhi para sineas film Amerika (terutama yang berkecimpung dalam genre Sci-Fi) untuk membuat film dengan tema perang nuklir, distopia dan hari kiamat, contohnya Terminator. Meski tidak pernah disinggung terang-terangan, Skynet kemungkinan besar terinspirasi dari proposal Strategic Defense Initiative (SDI) yang diinisiasi oleh presiden Ronald Reagan untuk merespon perkembangan senjata nuklir Uni Soviet. SDI ini dikritik keras oleh masyarakat Amerika yang khawatir bila SDI dijalankan maka akan terjadi perang nuklir yang dapat menimbulkan jutaan korban jiwa. Itu sebabnya film Terminator 1 tidak hanya memiliki atmosfer yang mencekam hanya karena adanya Arnold sebagai cyborg pembunuh. Namun, tema perang nuklir yang disebabkan oleh Skynet juga menyentuh masyarakat Amerika yang takut akan ancaman perang nuklir. Judgement Day rilis pada saat Perang Dingin mulai berakhir dan ancaman nuklir mulai redam. Epilog Sarah yang berkata “The unknown future rolls toward us. I face it for the first time with a sense of hope.” bisa diartikan sebagai kelegaan dari berakhirnya ancaman nuklir. Jadi, Skynet tidak hanya sekedar musuh dalam kisah Terminator, tapi juga simbol dari ancaman umat manusia yang terjadi pada saat itu yang direpresentasikan dalam bentuk AI.
Lalu, apa itu Legion? Sebuah representasi dari ancaman manusia abad 21? Atau jangan-jangan tidak punya makna sama sekali, hanya musuh dari masa depan yang ada karena kalau tidak ada maka bukan film Terminator? Ini yang bagi saya kemunduran dari Dark Fate dibanding pendahulunya. Mau Cameron sengaja atau tidak sengaja membawa konteks perang nuklir dan teknologi AI di Terminator 1 dan Judgement Day, tidak bisa dipungkiri bahwa Terminator 1 dan Judgement Day mendapat resepsi sangat baik dari itu. Mau tidak mau Dark Fate harus menampilkan musuh masa depan yang menjadi simbol dari isu yang populer tapi relatable dengan zaman sekarang. Karena untuk apa meniadakan Skynet dan menggantinya dengan Legion bila tidak ada suatu alasan dan makna dari itu. Apa itu Legion dan mengapa dinamakan demikian? Jika Legion diciptakan di era cyberwarfare abad 21, maka kenapa tidak membawa tema cyber terrorism atau drone strike? Mengapa Legion bisa mengambil sistem jaringan komputer dunia? Mengapa harus menggunakan nuklir untuk melawan Legion? Pertanyaan-pertanyaan ini seharusnya dijawab untuk membuat audiens menghayati sampai hati bahwa Legion adalah entitas berbahaya di Dark Fate. Genisys bahkan lebih baik dalam menyajikan konteks asal muasal ancaman di mana Skynet berubah menjadi operating system Genisys, suatu hal yang menjadi ciri khas peradaban manusia yang serba komputer tanpa tahu ada ancaman dari mesin tersebut. Genisys tetap saja sebuah abominasi tapi jauh lebih baik dalam mengenalkan konteks dari suatu konflik dibanding Dark Fate.
Saya menangkap maksud dari Cameron kalau film ini ingin menyajikan suatu pesan bahwa manusia secara takdir akan selalu jatuh ke dalam kehancuran dalam wujud apapun dan kapanpun. Saat kehancuran terjadi, selalu ada harapan untuk bangkit dan melawan dari keterpurukan. Itu sebabnya meski Skynet telah hilang, musuh lain akan datang bahkan dalam wujud yang kurang lebih sama yaitu Legion. Seperti kata Sarah, manusia tidak pernah belajar. Namun meski John Connor telah mati, calon pemimpin yang baru tetap lahir sebagai Dani Ramos. Kejatuhan dan harapan datang hampir bersamaan dan kedua hal ini tidak akan terpisah satu sama lain.
Namun tetap saja, tanpa tema yang dapat memancing audiens untuk mampu melihat Legion sebagai ancaman, Legion hanya terlihat musuh yang hadir karena semata filmnya butuh antagonis. Tidak seperti Skynet yang dapat menjadi simbol dan representasi kecemasan audiens yang khawatir akan dampak perang nuklir di era Perang Dingin, Legion hanyalah antagonis bisu yang tidak bisa menjelaskan sendiri ancaman seperti apakah yang berada dalam dirinya.
Carl, Terminator dengan Hati Nurani

Arnold Schwarzenegger kembali hadir di Dark Fate sebagai Carl, Terminator T-800 yang telah membunuh John Connor. Setelah berhasil menyelesaikan misinya dan menghilangnya Skynet, Carl kehilangan arah tujuan dan mulai tumbuh kesadaran diri sebagai individu. Semenjak itu Carl mempelajari konsep hati nurani yang ada saat manusia berperilaku. Dia menggunakan nama manusia, mengadopsi keluarga dan menjadi kepala keluarga. Carl juga mempelajari konsekuensi dari membunuh John sehingga dia mengirim koordinasi keberadaan Terminator lainnya demi memberikan Sarah tujuan hidup. Ketika saatnya tiba, Carl bersedia membantu untuk melawan ancaman AI yang baru.
Sampai sini mungkin anda akan mengeluarkan satu pertanyaan sederhana: “Bagaimana bisa Terminator tumbuh kesadaran diri?”. Memang Terminator seperti T-800 merupakan bentuk teknologi artificial neural network atau jaringan saraf tiruan yang mampu melakukan proses rumit seperti membuat keputusan dan perencanaan strategis. T-800 juga dibekali gudang data berisi pengetahuan medis dan psikologi untuk menjadikannya pembunuh yang efisien serta kemampuan self-learning (apabila dinyalakan). Maka wajar bila Carl dapat mempelajari konsep hati nurani lewat bagaimana manusia berinteraksi dan berperilaku dengan sesamanya.
Namun meskipun dapat mempelajari konsep kemanusiaan, belum ada penjelasan bagaimana Carl dapat bertindak berdasarkan prinsip kemanusiaan. Bagaimana proses logika di sistem operasinya mencerna konsep moral? Bagaimana sistem tersebut mampu membuat keputusan melalui kalkulasi moral? Bagaimana Carl mampu menelaah konsep penyesalan setelah membunuh John? Tidak terjawab secara memuaskan.
T-800 di Judgement Day diprogram ulang untuk melindungi John dengan mengubah protokol di dalam CPU. Lalu, bagaimana Carl sebagai cyborg dengan protokol utama untuk membunuh target dapat dengan sendirinya merubah protokolnya untuk mencari dan melindungi target sesuai keputusannya sendiri? Bagaimana Terminator yang menyelesaikan tugas membunuhnya dapat memperoleh kesadaran sendiri? Mengapa kesadaran diri tersebut tidak membawanya untuk mencari target lain untuk dibunuh? Mengapa kesadaran dirinya mengarahkannya untuk mempelajari hati nurani? Tidak terjawab sama sekali.
Satu plothole besar di film ini yang semakin membingungkan untuk menalar tokoh Carl. Perlu diingat bahwa CPU Terminator yang dikirim di masa lalu selalu disetel dalam pengaturan read-only oleh Skyrim supaya Terminator tidak terlalu banyak menerima informasi yang dapat mengganggu protokolnya. Ini dijelaskan di deleted scene Judgement Day saat John dan Sarah mengatur ulang pengaturan CPU T-800 dan setelahnya T-800 dapat belajar ungkapan manusia seperti Hasta la Vista dan mulai memahami mengapa John menangis saat dia harus berpisah dari T-800. Bila tidak ada yang mengatur ulang CPU nya, bagaimana pengaturan self-learning dia aktif secara sendirinya? Apakah self-learning aktif saat Terminator selesai menyelesaikan misinya? Ini juga tidak terjawab karena Terminator sebelumnya selalu hancur setelah misinya selesai seperti di Judgement Day dan Rise of the Machine.
Membuat cerita dengan premis AI yang punya kesadaran diri adalah premis cerita yang sulit sampai bisa dibuat satu film spesifik dengan tema ini, contohnya Her (2013) dan Ex Machina (2014). Premis tersebut terlalu berat untuk Terminator. Hasilnya adalah banyak pertanyaan dan plothole yang membingungkan dari tokoh Carl. Dia terkesan dibuat ada karena semua orang suka Arnold berperan sebagai Terminator yang baik seperti di Judgment Days, memberi kesan nostalgia tapi tidak mampu membuat karakter tersebut signifikan secara plot.
Rev-9, Abaddon yang dikirim oleh Legion
Dark Fate menghadirkan Terminator baru bernama Rev-9 yang tidak lagi menggunakan kode T sebagai huruf serial karena beda pencipta. Diduga nama Rev-9 terinspirasi dari Kitab Wahyu 9 (Revelation 9) yang menyebutkan nama malaikat maut bernama Abaddon saat kiamat datang. Bisa dibilang bahwa Rev-9 yang diperankan oleh Gabriel Luna ini adalah Abaddon yang dikirim oleh Legion untuk memastikan kedatangan kiamat di masa depan.
Bagi saya desain Rev-9 penuh dengan referensi Terminator sebelumnya. Dari bentuk endoskeleton yang menyerupai T-800, kemampuan berubah wujud seperti T-1000 dan gabungan antara endoskeleton dan logam cair seperti T-X. Yang membedakan dari Terminator pendahulunya adalah kemampuan untuk memisahkan bagian endoskeleton dan mimetic polyalloy menjadi dua unit. Perbedaan kecil lainnya adalah Rev-9 terbuat dari karbon yang jauh lebih kuat dibanding logam titanium. Sebuah desain Terminator yang seimbang untuk dihadapkan dengan tiga tokoh yang terdiri dari tentara masa depan dengan cybernetic enhancement, pembunuh Terminator dengan senjata militer dan Terminator T-800. Maka, Rev-9 bisa diakui sebagai musuh yang mengerikan dan menegangkan di sepanjang film ini.
Rev-9 juga memiliki tingkat intelegensi yang tinggi dan mampu berperilaku seperti manusia seperti menunjukkan emosi, berkomunikasi secara sarkastik, berdialog dengan aksen bahasa dan berbohong. Kurang dijelaskan intelegensi ini adalah bagian dari pemrograman Rev-9 atau Rev-9 memiliki kesadaran diri sehingga mampu bertindak bagai manusia. Namun apabila Rev-9 memang memiliki kesadaran diri, kesadarannya tidak membuatnya menjadi empatik tetapi bertindak dengan naluri insting untuk menjalankan misinya. Lebih mudah menalar suatu AI yang memiliki kesadaran diri untuk menjadi pembunuh yang agresif dan taktis bagaikan manusia yang meski sudah punya akal budi tapi tak pernah lepas dari insting seperti melawan saat terkena ancaman atau menyerang saat marah. Karena bertindak secara insting adalah logika yang lebih sederhana dibanding empati maka Rev-9 adalah tokoh Terminator yang lebih masuk akal dibanding Carl.
Takdir Gelap bagi Terminator?
Bagi saya, Dark Fate kurang cukup untuk menjadi harapan atau jawaban baru atas meredupnya franchise Terminator. Upaya mendaur ulang premis utama cerita dengan membawa tokoh dan cerita baru hanya semakin membuat bingung audiens dalam menalar Dark Fate sebagai sekuel Terminator, terlebih lagi mengorbankan signifikansi plot dan tokoh sebelumnya. Dark Fate beberapa sisi tidak beda jauh dengan pendahulunya yang paling nista yaitu Genisys dalam kegagalannya menghidupkan kembali kesan dan rasa dari film Terminator dengan embel-embel reboot. Dark Fate secara keseluruhannya masih sepantaran dengan Rise of the Machine yang ironisnya lebih berasa nyambung sebagai sekuel Judgment Day karena kepatuhannya dengan canon cerita dibanding Dark Fate sendiri. Perlu diakui bahwa Dark Fate punya banyak aspek cerita yang sangat potensial terutama simbol feminisme yang entah sengaja atau tidak sengaja tersirat serta desain Rev-9 yang cukup potensial disini. Namun tanpa adanya elaborasi cerita yang meyakinkan, aspek feminisme hanya terasa mengusik dibanding membangun tema bagi audiens yang sudah terlalu menghayati aura film Terminator sebelumnya. Rasanya film ini memang akan menjadi Dark Fate bagi franchise Terminator.
Comments