Joker: Diskusinya Tidak Berhenti di Sini
- protagonis
- Oct 10, 2019
- 3 min read
Seminggu sebelum film Joker ditayangkan, tiket pre-sale sudah mulai dijual. Tentu tidak ada kebimbangan untuk membeli tiket pre-sale penayangan hari pertama saat itu juga. Film ini sudah tayang sebelumnya di Cannes Film Festival di Kanada dan berhasil mendapatkan perhargaan dari acara tersebut. Semakin mendekati hari penayangan perdana di Indonesia, artikel yang berhubungan dengan film ini semakin banyak. Saya sendiri menolak untuk membaca kritik dan artikel terkait Joker. “Biar diri saya bersih dari segala pengaruh pendapat orang dan saya bisa menilai film itu sendiri.” Batin saya tiap tidak menghiraukan segala macam judul artikel yang ada.
Sebuah kemustahilan tentunya berada di dunia media perfilman tanpa terpapar berita tentang Joker sedikitpun. Beberapa akun menyampaikan pujian dari para kritikus atas peran Joaquin Phoenix. Saya membaca ulasan semacam itu dengan tangan terbuka dengan anggapan tidak akan mempengaruhi saya dalam mencerna cerita film dan esensi yang ingin disampaikan dalam filmnya. Jadilah saya masuk ke ruangan bioskop tanpa ekspektasi apapun dari film ini.
Setelah dua jam penayangan film, lampu studio menyala, iringan tepuk tangan penonton bergemuruh. Saya terduduk di kursi dengan tangan saya menyangga dagu keheranan. Pesan yang disampaikan terlalu kuat. Belum lagi mental Arthur Fleck yang tidak stabil dan rumit benar-benar mengganggu penonton. Beruntung bagi saya yang tidak punya mental trigger yang bisa saja terpicu setelah menonton film ini. Hanya saja tidak mudah untuk mencerna film ini secara keseluruhan sekaligus dalam tempo yang singkat. Bahkan setelah semua nama kru selesai ditayangkan, rasanya belum cukup waktu untuk mencerna film yang barus saja saya tonton

Hari berikutnya, banyak akun Twitter yang memberikan ulasan untuk film Joker. Mulai banyak awareness yang disampaikan tentang kemungkinan mental trigger bagi penonton yang punya kecenderungan gangguan mental. Makin banyak juga yang menyampaikan pesan tentang rating film ini di mana tidak ada alasan apapun untuk memperbolehkan penonton di bawah 17 tahun untuk menonton film ini. Banyak juga yang menginfokan bahwa masih banyak orang tua yang membawa anaknya menonton Joker setelah banyaknya peringatan yang disebar luaskan.
Ulasan yang beredar pun sangat beragam. Mulai dari orang-orang yang berfokus pada mental complexity dari si Arthur Fleck yang dipengaruhi oleh orang-orang di sekitarnya, ibunya, ataupun upper class yang toxic di film ini. Saya sendiri menulis tentang Joker sebagai simbol pergerakan perlawanan (bisa dibaca di
berikut).
Apakah saya menjustifikasi aksi Joker benar? Beberapa bagian, iya.
Saya suka melihat bagaimana aksi Joker memicu adanya perlawanan dari rakyat kelas bawah. Di mana kelas masyarakat tersebut selalu tidak dianggap, dipinggirkan, bahkan dianggap sebagai badut dalam penggambaran yang menghina. Mereka hanya bisa terdiam dibungkam oleh orang-orang yang punya kuasa. Aksi Joker yang asalnya tidak bermaksud apapun, dengan topengnya, malah seolah mengingatkan masyarakat yang tertindas untuk melawan.
Kebisingan yang dibuat oleh kaum bawah tentu mengganggu masyarakat kelas menengah. Mereka merasa bahwa kehidupan mereka yang selama ini bisa mereka nikmati dengan tenang, tiba-tiba terusik dengan masyarakat kelas bawah yang mulai berisik. Sedangkan masyarakat kelas atas, dengan kemewahan yang mereka miliki, bisa meredam suara berisik dari masyarakat kelas yang selama ini sudah mereka hina.
Mungkin frasa “orang jahat adalah orang baik yang tersakiti” terasa tidak terlalu tepat apabila melihat pada perspektif ini. Karena aksi Joker di sini tidak melulu tentang kejahatan. Dari sudut pandang paling awam, menarik pelatuk senjata api di saat dia ditendang oleh orang yang yang tak dikenal bisa saja dianggap mekanisme pertahanan diri. Dari sudut pandang paling menakutkan, menembakkan peluru tepat ke tulang kepala seorang presenter di depan layar kaca nasional adalah bentuk konsekuensi karena telah mempermalukan seseorang di layar kaca nasional.
Saya tidak mengatakan bahwa semua itu bukan tindak kejahatan. Apakah itu kriminalitas? Tentu. Apakah Joker bisa disebut jahat? Kembali lagi, belum tentu. Kalimat saya semakin terdengar sedang membenarkan aksi immoral demi kepentingan satu kaum. Akan tetapi saya tidak seperti itu. Percayalah saya orang yang masih menjunjung moral dan hak asasi manusia. Hanya saja saya baru sadar untuk mengingatkan masyarakat kelas bawah untuk melawan harus diawali oleh orang kelas bawah sendiri.
Film ini tentu menampilkan bahwa di dunia ini tidak melulu tentang hitam dan putih.
Saat moral kompas suatu individu menjadi benchmark kolektif, tentu lebih mudah untuk menentukan mana yang benar mana yang salah secara sepihak. “Bukankah komedi adalah (tentang) perspektif, Murray?” kurang lebih itu yang dikatakan Arthur Fleck di studio tv nasional. Tentu itu tidak hanya berlaku di komedi, tapi kehidupan juga secara garis besar.
Siapa sangka pembunuhan yang dilakukan Joker dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap penguasa. Siapa sangka film yang hanya disangka “awal mula Joker muncul” malah membuka ruang diskusi yang luas dan beragam. Segala bentuk afirmasi ataupun oposisi dari film ini dapat ditemukan di berbagai media. Akhirnya kalian dengan filter masing-masing yang menentukan mana yang baik dan mana yang jahat.
Tapi apakah ini semua benar-benar soal baik dan jahat?
Comments