top of page
Search

Lee vs. Tarantino

  • protagonis
  • Oct 6, 2019
  • 7 min read

Seakan bukan film Quentin Tarantino bila tidak ada kontroversi yang terjadi setelahnya. Dari Django Unchained yang dulu menjadi panas karena isu penggunaan kalimat tabu nigger di setiap adegannya sampai di film terbarunya, Once Upon A Time in Hollywood, yang dituduh melakukan penggambaran tokoh nyata secara tidak akurat dan bersifat merendahkan. Ada dua tokoh yang menuai kritik dan protes dalam penggambarannya yaitu Sharon Tate dan Bruce Lee. Kontroversi Sharon Tate selesai beriringan dengan rilisnya film dengan alasan yang bisa anda lihat dengan menonton filmnya. Namun, kontroversi Bruce Lee muncul setelah rilisnya film dan berlanjut sampai saat ini.



Once Upon A Time in Hollywood (OUATIH) menceritakan kisah Rick Dalton (Leonardo DiCaprio), seorang aktor yang berusaha menghadapi kemerosotan popularitas, dan Cliff Booth (Brad Pitt), aktor pengganti (stuntman) Rick Dalton yang juga bekerja sebagai asisten pribadi Rick sehari-hari. Selain menceritakan kisah kedua tokoh ini, OUATIH juga penuh dengan referensi budaya pop Amerika dari hadirnya aktris Sharon Tate (Margot Robbie), sutradara Roman Polanski (Rafał Zawierucha) dan aktor laga Bruce Lee (Mike Moh). Film ini juga membawa referensi keluarga Manson yang menjadi dalang pembunuhan aktris Sharon Tate pada tahun 1969 dimana keluarga Manson menjadi salah satu unsur plot utama di film ini. Perlu diketahui bahwa Rick Dalton dan Cliff Booth adalah tokoh fiksi di antara banyaknya tokoh nyata di film ini. Meski begitu, dua tokoh ini dibuat berdasarkan referensi dari berbagai aktor asli di era Hollywood tahun 1960 an.


Kontroversi Bruce Lee muncul ketika Shannon Lee, anak Bruce Lee, memprotes penggambaran Bruce Lee yang dinilai tidak akurat dan melecehkan. Tidak akurat karena dalam OUATIH Bruce Lee digambarkan sangat sombong karena merasa mampu melumpuhkan Muhammad Ali dan terlihat lemah sampai dapat dilempar ke mobil oleh Cliff Booth. Penggambaran yang tidak akurat dianggap pelecehan nama baik Bruce Lee yang dipercaya sebagai tokoh beladiri yang tak terkalahkan dan bijak. Kareem Abdul-Jabbar bahkan menuduh Tarantino rasis. Tuduhan ini mengungkit konteks sentimen ras yang memang terjadi oleh aktor minoritas seperti etnis Cina-Amerika yang terjadi di tahun 1960 an sehingga menggambarkan Bruce Lee seperti itu dianggap merupakan bentuk ekspresi rasis Tarantino selaku sutradara kulit putih.



Kepercayaan bahwa Bruce Lee adalah ahli beladiri terkuat berawal dari kejuaraan Long Beach International Karate Championships tahun 1964. Bruce Lee hadir sebagai peraga dalam kejuaraan ini dimana dia memperagakan kemampuan bela dirinya yang menjadi trademark-nya seperti tinju satu inci, menyerang dan menangkis dengan mata tertutup dan push-up dengan dua jari. Dari sinilah dia mulai diajak oleh Hollywood untuk membintangi berbagai serial TV seperti The Green Hornet. Imaji Bruce Lee yang bijak dan rendah hati terbentuk oleh dialog-dialog filosofisnya dan kesaksian orang terdekatnya. Dalam film Enter the Dragon dia mengajarkan untuk “Jangan berpikir, seperti kau menunjuk rembulan, jangan fokus dengan telunjukmu atau kau akan mengabaikan keindahan langit”. Kareem Abdul Jabar juga menceritakan bahwa Bruce Lee cenderung menolak ajakan orang yang menantang dia untuk berkelahi dengan rendah hati. Dua imaji inilah yang menyebabkan bentuk penggambaran yang melenceng dari apa yang dipercaya orang terdekat Bruce Lee dan fansnya sebagai bentuk penghinaan.


Saya tidak akan berusaha terlalu dalam untuk menginvestigasi benar atau tidaknya Bruce Lee sebagai tokoh bijak yang tak terkalahkan di sini. Meski begitu anda bisa menemukan banyak kritik skeptis mengenai kekuatan Bruce Lee di internet, misalnya mengenai benar atau tidak Bruce Lee adalah seorang ahli beladiri yang tak pernah kalah karena minimnya bukti konkrit atau dokumentasi Bruce Lee di arena pertarungan nyata. Yang menarik, ada cerita dimana Gene LeBell, aktor pengganti The Green Hornet, serial yang dibintangi Bruce Lee saat itu, mampu mengunci dan mengangkat Bruce Lee yang sulit berkoordinasi dengan aktor pengganti lainnya karena terlalu serius dalam berkelahi sehingga menyebabkan cedera aktor lainnya. Cerita ini yang menjadi landasan adegan Bruce Lee yang dilempar ke mobil oleh Cliff Booth. Jelas ini menunjukkan bahwa ada beberapa sisi sejarah dari Bruce Lee dimana dia ‘pernah kalah’.


Mungkin saya akan terkesan lebih membela Tarantino disini. Namun bagi saya, kritik yang dilempar oleh semua pendukung Bruce Lee adalah kritik yang sia-sia dan cenderung reaksioner atas dasar ketidaksukaan subyektif tanpa dasar yang kuat untuk menunjukkan bahwa Tarantino benar-benar salah. Alasannya satu, mereka yang tersinggung dengan Tarantino sama sekali tidak berniat menonton film Tarantino dari awal. Mereka menonton OUATIH hanya untuk menonton Bruce Lee dan itulah kesalahan terbesar mereka (durasi Bruce Lee tampil di film ini bahkan tidak sampai 5 menit).


Perlu diketahui bahwa Quentin Tarantino adalah seorang auteur, yaitu seniman perfilman yang bersifat memegang penuh seluruh aspek kreatif suatu film sesuai dengan perspektif seni yang mereka inginkan, ibarat seorang penulis yang memegang kendali penuh tema, latar, penokohan dan cara penulisan ceritanya. Ciri khas film Tarantino dapat dilihat dari gaya visual dan sinematografis yang penuh darah dan kekerasan (Pulp Fiction, Kill Bill vol. 1 & 2) dan campuran genre-genre film cult classic seperti spaghetti western (Django Unchained & Hateful Eight), exploitation (Pulp Fiction) dan grindhouse (Death Proof). Secara tema, filmnya cenderung penuh dengan rekayasa sejarah alternatif, dark comedy dan satir. Bagi Tarantino, membuat cerita baru dari sejarah atau kisah yang sudah ada dengan style di luar pasar konvensional adalah bentuk ekspresi otentik terbaik. Itu sebabnya film dia penuh dengan kekerasan, pelintir sejarah dan humor kritis nan sarkastik pada konteks sosial dan budaya yang ada. Ini yang tidak dipahami oleh mereka yang tersinggung oleh Tarantino atas penggambaran Bruce Lee di OUATIH.


Lalu, bagaimana memandang tokoh Bruce Lee dari kacamata Tarantino dalam OUATIH? Fungsi Bruce Lee disini sebenarnya hanyalah cameo untuk memperkuat karakter Cliff Booth yang memang digambarkan sangat kuat sebagai mantan tentara. Mengapa harus Bruce Lee? Karena sebagai sosok yang dianggap terkuat di Hollywood tahun 60 an maka tidak aneh Tarantino ingin menunjukkan kekuatan Cliff Booth lewat Bruce Lee. Tapi apakah pantas dengan cara menampilkan Bruce Lee yang sombong dan lemah? Kembali pada cerita Gene LeBell yang menjadi inspirasi adegan kontroversial Bruce Lee, jelas bahwa adegan tersebut tidak sepenuhnya salah dan tidak akurat karena ada dasar kesaksian nyata dari orang dekat Bruce Lee sendiri dan bukan semata karangan Tarantino. Tarantino memang tidak sepenuhnya benar dalam menggambarkan Bruce Lee, terutama saat dia dengan kukuh mengatakan bahwa Lee pernah mengaku dapat mengalahkan Muhammad Ali (kenyataanya Lee sendiri sangsi bisa mengalahkan Ali, yang menyatakan hal tersebut justru adalah reporter). Namun, penggambaran Bruce Lee yang percaya diri ini sebenarnya juga terlihat pada tokoh-tokoh yang dimainkan Bruce Lee di film-filmnya, seperti Lee yang tidak segan membunuh O’Hara dalam duel karena menolak tunduk di Enter the Dragon dan sebagai Chen Zhen di Fist of Fury yang menyerbu dojo Karate karena tidak terima disebut sebagai Sick Man of Asia. Maka meski adegan Booth vs. Lee terinspirasi oleh cerita LeBell, sosok Bruce Lee di OUATIH sebenarnya tidak jauh dari apa yang kita lihat di filmnya. Itu sebabnya Tarantino harus tetap mempertahankan ciri khas Bruce Lee yang sangat percaya diri sampai terkesan sombong dengan suara khas “WATAW!” agar kesan Bruce Lee tetap sesuai dengan kesan yang kita kenal. Namun, penggambaran ini tetap membuat Shannon Lee merasa tersinggung di pemutaran perdana terutama ketika penonton (yang notabene fans Tarantino) tertawa saat Bruce Lee melantangkan teriakan khasnya dan terlempar oleh Cliff.



Dari fenomena ini, kita dapat menarik berbagai kesimpulan. Pertama, seringkali para pengamat film tidak mampu melihat batasan realita dan seni. OUATIH secara jelas bukanlah film dokumenter yang harus patuh pada ketepatan sejarah dan fakta. OUATIH adalah film fiksi yang dibuat dari imajinasi Tarantino melihat Hollywood tahun 1960 an yang dipadukan dengan tragedi pembunuhan Sharon Tate oleh keluarga Manson. Sebagai seni maka yang dilakukan Tarantino bukanlah hanya melumat apa yang orang katakan sebagai fakta saja, tapi kemudian mengilhaminya dan mengutarakan apa yang bisa dia ceritakan ulang dalam pandangan dia sebagai auteur. Maka Bruce Lee dalam OUATIH bukanlah dokumentasi nyata, tapi bagian dari imajinasi Tarantino untuk memperkuat alur cerita OUATIH sendiri.


Kedua, imajinasi tidak bisa serta merta menjadi representasi pemikiran jahat seorang auteur. Abdul Jabar dan kritikus-kritikus film (yang umumnya adalah social justice warrior) hanya menilai Tarantino rasis karena dia kulit putih. Lebih sembrono nya lagi, mereka menilai bahwa penggambaran Lee yang lemah adalah bentuk supremasi kulit putih Tarantino pada orang non-Kaukasia. Ini sungguh kritik reaksioner tanpa alasan kuat yang lebih dilandasi oleh pandangan subyektif dan politis yang sangat bias dan memaksa. Mereka yang mencela ini tidak tahu (dan tidak mau tahu) pandangan Tarantino yang sebenarnya juga mendukung anti diskriminasi. Ironisnya, film Tarantino banyak yang sebenarnya mendukung narasi mereka. Contohnya, di Death Proof dimana villain pria yang doyan membunuh wanita dengan mobil akhirnya harus mati di tangan wanita mangsanya sendiri atau Django Unchained ketika bekas budak kulit hitam akhirnya menjadi koboi yang dapat membantai bangsawan kulit putih sebagai bentuk balas dendam. Tuduhan rasisme karena gambaran Bruce Lee yang dibuat lemah adalah tuduhan yang hanya memaksakan narasi sepihak.


Ini menuju kesimpulan ketiga, bahwa para pengamat ini tidak mau dan mampu untuk melihat dengan cermat subjek kritiknya. Shannon Lee tidak peduli dengan film Tarantino seperti apa, dia hanya peduli bahwa ayahnya baik apa adanya seperti yang orang percaya dan kuat seperti apa yang dia lihat dalam film bapaknya. Kareem Abdul Jabar hanya tidak nyaman melihat gurunya yang minoritas terlihat lemah. Fansnya? Jangan tanya. Bagi mereka filmnya Bruce Lee adalah yang terbaik, dia adalah manusia terkuat sepanjang masa, beliau adalah dewanya bela diri. Mengatakan sebaliknya adalah bentuk penistaan. Kritikus SJW? Apalagi. Apabila seseorang berkulit putih, maka kemungkinan besar dia rasis. Para pengamat ini sama sekali tidak membuka ruang untuk menonton dan mencoba memahami apa yang ingin disampaikan Tarantino lewat filmnya. Bagi mereka disonansi adalah hal yang menyebalkan dan tidak mengenakkan sehingga harus dikoreksi sesuai apa yang dituntut mereka demi memenuhi kepuasan batin sendiri dan bersama. Ini bukanlah mental dan semangat kritikus untuk kebebasan ekspresi, ini adalah mental konsumen yang hanya ingin enaknya saja sehingga opini mereka tidak layak untuk diperhatikan lagi.


Mungkin ada benarnya bahwa Bruce Lee adalah aktor sekaligus atlet bela diri yang kuat. Mungkin benar bahwa dia bijak dan tidak sombong seperti yang orang percaya. Namun, OUATIH bukanlah film dokumenter Bruce Lee. Dia hanya bagian kecil dari film drama fiksi realis oleh Tarantino mengenai kisah Rick Dalton dan Cliff Booth hidup bila mereka hidup di dunia Hollywood, seperti judulnya Once Upon A Time in Hollywood. Mempertanyakan akurasi Bruce Lee dalam OUATIH hanya dengan landasan bias subjektif yang abai pada inti tema dan plot film itu sendiri serta menghiraukan batasan seni dan realita adalah wujud kritik yang reaksioner, lemah dan minim komitmen kebebasan berseni. Banyak yang bisa dikritik dari OUATIH dari plot, tema, dialog dan performa aktornya, namun menggugat penggambaran Bruce Lee bukanlah yang utama. Tidak seharusnya kita mempeributkan seorang cameo yang hanya muncul selama 5 menit dalam film berdurasi 160 menit.

 
 
 

Comments


Post: Blog2_Post

©2018 by protagonis. Proudly created with Wix.com

bottom of page