The Nun: Mestinya Ekploitasi Hantu itu Dilarang
- Sang Protagonis
- Sep 22, 2018
- 3 min read
Mestinya James Wan belajar dari McDonald indonesia, ngga semua yang dijual dengan embel-embel McD bisa laku banyak dan berhasil bagus. McD mencoba melebarkan sayapnya dengan jualan nasi uduk lengkap dengan sambel terasinya setelah merasa sukses berjualan paket nasi yang hanya berisikan nasi, ayam, dan scrambled egg. Sama halnya James Wan yang sukses dengan beberapa film horrornya mulai dari Insidous sampai The Conjuring 2 yang mulai memperkenalkan karakter Valak. Sepertinya sifat manusia yang tidak pernah puas masih cukup kuat di diri James Wan.

Menurut saya sendiri, kekurangan dari film ini adalah ketegangan di tiap scene yang ditampilkan. Meski dari awal dimulai dengan menampilkan Valak secara langsung dan adegan dengan intensitas tinggi langsung muncul, tidak cukup membantu untuk build up ketegangan yang coba disajikan berikutnya. Mungkin karena di film ini James hanya berperan sebagai penulis ceritanya, tidak seperti di film seri Conjuring atau Insidious dimana dia berperan sebagai director.
Di samping itu entah kenapa semua adegan yang ada di film ini terasa sangat basi. Tidak ada teror yang terasa benar-benar menakutkan. Pergerakan kamera yang sangat biasa selalu gagal memberikan jump scare yang mestinya bisa membuat penonton berteriak.
Film ini bercerita tentang seorang suster yang diutus oleh Vatikan untuk pergi ke Rumania untuk menyelidiki tentang kasus janggal yang terjadi di gereja di ujung tebing. Tempat ini adalah awal cerita di mana valak keluar dan membunuh salah satu biarawati di sana. Di sini sebuah misteri berawal. Satu hal yang membuat prologue cerita ini sangat menarik, muncul tulisan “God ends here” di dinding. Sayangnya, itulah satu-satunya yang menegangkan di film ini. Tidak ada plot twist di akhir cerita. Sebagai fim misteri, jelas ini adalah kegagalan.
Kalau di beberapa film horor lainnya yang selalu memberikan misteri yang tersebar di mana-mana dan membuat penonton terus menebak-nebak apa yang akan terjadi selanjutnya, apa yang menyebabkan kejadian menakutkan itu muncul, dan semacamnya lagi, film ini hadir dengan cara yang tidak biasa. Bahkan sebaliknya. Latar belakang cerita yang diceritakan di tengah-tengah film, jalan cerita yang sudah tertebak, dan karakter valak yang overrated.
Entah apa sebenarnya yang ingin diunggulkan dari film ini karena semuanya terbilang mempunyai kualitas yang sama. Iya. Sama-sama buruk. Bahkan pemeran pembantu yang dihadirkan di sini terasa sangat tidak berguna. Hadir dengan gaya yang flamboyan dan pemberani, pendalaman karakternya malah menjadi sangat lemah. Bahkan setelah dia menceritakan latar belakangnya, memperlihatkan betapa malasnya penulis untuk memperdalam karakter di film ini.
Tentu saja saya sempat membaca beberapa review sebelum memutuskan untuk menonton film ini. Memang kebanyakan dari review mengatakan bahwa ini bukanlah film yang layak dibanggakan dari franchise Conjuring. Yang menarik adalah ada salah satu ulasan dari indonesia yang muncul di halaman pertama situs pencarian. Ulasan ini menggunakan kata “sukses” dan diikuti kata positif sebagai judul halaman tersebut. Tidak cukup di situ, nilai ulasan overallnya 8.5/10. Memberikan nilai positif yang tinggi untuk film ini sama seperti menyangkal Woody Allen melakukan sex abuse. Terlalu obvious untuk disangkal.
Saya adalah tipe penonton film yang bisa menonton film yang sama beberapa kali kalau memang itu film yang menarik. Tapi film ini sungguh membosankan untuk ditonton bahkan hanya sekali. Beda dengan film horor lainnya yang berusaha berjuang dengan trailer dan poster yang mereka tampilkan, film ini sangatlah mudah untuk menarik banyak penonton di awal pemutarannya karena “teaser” yang sudah diberikan semenjak Conjuring 2. Kalaupun saya pergi ke bioskop bersama seorang wanita dan berniat berbuat mesum di dalam bioskop, saya tidak akan memilih film ini.
Comments