(Spoiler) The Night Comes For Us: Action Thriller Lokal rasa Horror Slasher ala Timo Tjahjanto.
- Sang Protagonis
- Dec 19, 2018
- 7 min read
Updated: Dec 21, 2018
Artikel ini mengandung isi cerita film dan bisa mempengaruhi pengalaman menonton anda. Pastikan anda sudah menonton film ini atau bersedia dengan konsekwensi yang sudah disebutkan.
***
Setelah sempat ditunda produksinya pada tahun 2015 karena masalah budget dan sponsor, The Night Comes For Us (TNCFU) akhirnya rilis di Netflix sebagai salah satu film action Indonesia yang diandalkan untuk go international, seperti The Raid dan Wiro Sableng. Timo Tjahjanto, yang sebelumnya terkenal sebagai sutradara horror slasher seperti Rumah Dara (2009) dan Killers (2014), kali ini berusaha menyajikan karya baru berupa film action thriller. Ini bukan pertama kalinya Timo mencoba menggarap film action karena sebelumnya dia sudah menyutradarai Headshot (2016). Headshot boleh dibilang sebagai try out Timo sebelum merampungkan proyek TNCFU. Apakah TNCFU dapat memenuhi ekspektasi yang sebelumnya Headshot belum bisa berikan? Apakah TNCFU bisa memberikan kesan yang lebih dari The Raid yang sudah menjadi pionir utama film persilatan modern Indonesia?

The Night Comes For Us menceritakan Ito, salah satu anggota Six Seas yang bertugas menjadi enforcer Triad dalam melakukan tugas kotor seperti pembunuhan dan pembantaian. Dalam tugasnya melenyapkan seluruh penduduk desa yang telah mencuri barang dari Triad, Ito menemukan satu anak perempuan yang selamat. Dengan maksud mengubah jalan hidupnya sebagai Six Seas yang penuh kematian, Ito mengkhianati Triad dan menyelamatkan anak itu. Sejak itu, jendral Triad, Chen Wu (Sunny Pang) dan anak buahnya memburu Ito yang sudah mengkhianati Triad. Ito harus bertahan hidup dari serbuan pembunuh yang berusaha mengincar nyawanya dan bahkan orang terdekatnya.
Meskipun bisa dianggap layak sebagai film action terbaik untuk tahun 2018 ini, dalam beberapa sisi film ini masih belum dapat memberikan ekspektasi yang cukup untuk dinyatakan sebagai film action yang sempurna. TNCFU berhasil dalam memberikan nuansa action thriller yang sadis dan thrilling lewat koreografi yang brutal, unsur gore violence yang pas serta desain visual setting dan karakter yang khas. Namun layaknya film action umumnya, plot cerita dan perkembangan tokoh di TNCFU masih terasa hampa dan gantung. Ambisius tapi jatuhnya agak pretentious.
Misal, Ito sebagai Six Seas menyelamatkan anak dari korban pembantaian karena dia melihat hidupnya hanya ada kematian dan ingin mengubahnya. Tapi apa yang Ito lihat tentang kematian dan mengapa dia ingin lari darinya masih hampa akan penjelasan. Disini Ito memang digambarkan sebagai good guy in the wrong world, dia tidak menginginkan kematian dan hanya ingin bertahan melindungi dirinya dan orang terdekatnya. Tapi jika dia menjadi Triad karena melindungi teman-temannya, mengapa dia memutuskan untuk mengkhianati Triad dan membahayakan temannya? Jika memang untuk melindungi anak tersebut, bukankah dia dan siapapun termasuk anak itu akan diincar juga? Siapa yang sebenarnya ingin dia lindungi? Dirinya? Atau orang terdekatnya? Meski mau menggambarkan sosok good guy with the bad decision, jatuhnya lebih stupid guy with the stupid decision. Premis utama yang diberikan melalui konflik batin Ito jadi terkesan klise dan hampa sehingga plot yang diberikan tak mengena di sini.

Tokoh pendukung seperti Arian (Iko Uwais) di film ini sebenarnya adalah tokoh menarik yang sifatnya deuteragonist. Arian digambarkan sebagai sosok ambisius namun dilematis dalam melindungi teman atau mencapai ambisinya. Tapi Arian di film ini hanya sekedar tokoh ambisius tanpa penjelasan. Tak diketahui apa alasannya dia menuruti iming-iming Chen Wu untuk diberi kekuasaan dengan syarat harus melenyapkan Ito dan kawan-kawanya namun dalam waktu yang bersamaan masih berharap melindungi dan menyelamatkan mereka yang juga adalah temannya. Tidak ada penjelasan kenapa pada akhirnya dia mau melawan Ito demi menjadi Six Seas selain alasannya karena dia adalah tokoh ambisius.
Selain Arian, ada The Operator (Julie Estelle) yang berusaha melenyapkan Six Seas, salah satunya Ito. The Operator ditampilkan sebagai sosok misterius yang bisa muncul dan hilang sesukanya. Tidak dijelaskan mengapa dia membunuh anak buah Yohan (Revaldo) dan menerima permohonan Ito untuk melindungi anak yang diselamatkannya apabila misi The Operator hanya membunuh Six Seas. The Operator memang diberi kesan misterius dalam setiap tindakan dan keputusannya. Mungkin The Operator disiapkan untuk sekuel atau prekuel dari TNCFU karena TNCFU direncanakan menjadi sebuah trilogi.
Villain di film ini dari Chen Wu, Alma (Dian Sastro), dan Elena (Hannah Al Rashid) punya desain karakter secara visual dan akting yang cukup remarkable. Tapi meski punya khas, gesture dan mimik karakter di sini cuma sekedar menunjukkan mereka villain saja tanpa alasan. Kita tidak tahu mengapa Alma dan Elena adalah lesbian selain terlihat cool dan edgy saja. Kita tidak tahu mengapa Elena bisa berbahasa Prancis dan membalikkan salib di rumah Shinta (Salvita Decorte) selain hanya memberikan kesan bahwa Elena adalah sinister villain yang berasal dari luar Indonesia (meski mengucap sepatah kata dalam bahasa Indonesia). Kita tidak tahu mengapa Alma tertawa dengan provokatif melihat mangsanya selain untuk menimbulkan kesan sadistik di tokohnya. Tak ada latar belakang sekilas dari tokoh ini menyebabkan villain di sini lebih mirip villain dalam video game yang hanya mati untuk melanjutkan protagonis ke level berikutnya.
Tokoh-tokoh disini seakan adalah manusia-manusia yang hidup tanpa maksud dan prioritas yang jelas. Seolah hanya mengikuti insting hidup, atau lebih tepat mengikuti plot cerita saja. Ini yang menyebabkan secara plot dan penokohan, TNCFU tidak begitu mengena. Tidak ada landasan kuat dalam pembentukan tokoh dan tidak adanya penghubung yang jelas antar tokoh menyebabkan film ini hampa, gantung dan pretentious secara plot. TNCFU mengalami hal yang sama dengan film action lainnya, yaitu antara membuat film yang plotnya simplistik demi menonjolkan action dengan konsekuensi filmnya jadi cheesy dan garing atau membuat film action dengan plot yang cukup ambisius namun beresiko menjadi film yang hampa dan gantung dan penceritaan. TNCFU termasuk yang terakhir.
Namun, dari lemahnya TNCFU di perkembangan plot dan tokoh film ini harus dipuji dalam memadukan dua unsur yaitu gorefest dan actionfest. Kekerasan ala Timo Tjahjanto yang ditunjukkan lewat practical effect seperti muncratnya darah, ledakan badan, keluarnya organ tubuh, dan pemenggalan anggota tubuh dipadukan dengan koreografi ala tim Iko Uwais yang brutal dan cepat tanpa ada kesan over choreographed membuat film ini menjadi film action yang berbeda dari film action mainstream di pasar lokal maupun internasional yang lebih mengandalkan koreografi akrobat PG-13.
Koreografi tim Iko Uwais di film ini beberapa sisi masih sama dengan sebelumnya, seru dan terang-terangan. Tidak ada kesan over choreographed seperti gerakan akrobatik yang dilakukan untuk memberi kesan cool atau gerakan repetitif berupa serang dan tangkis berulang-ulang yang lebih terlihat seperti sparing antar atlet dibanding pertarungan hidup dan mati. Semua gerakan ditampilkan seakan benar-benar untuk melumpuhkan dan membunuh musuh. Gerakan yang menonjolkan body contact, pukulan ke bagian kepala dan perut yang cepat, kuncian dan lemparan yang kuat, serta penggunaan senjata oleh tokoh siapapun membuat koreografi di TNCFU menjadi lebih realistis untuk standar film action.
Yang membuat koreografi di TNCFU menjadi berbeda dari film-film tim Iko Uwais sebelumnya seperti Headshot dan The Raid (2011 & 2014) adalah adanya Joe Taslim sebagai protagonis dan unsur survival action yang lebih menonjol disini. Dengan menjadikan Joe Taslim yang merupakan mantan atlet Judo sebagai protagonis, TNCFU memberikan koreografi yang berbeda berupa adegan action yang lebih mendekati realistis dan brutal. Ini karena koreografi TNCFU menjadi lebih banyak dibentuk oleh gerakan kuncian dan lemparan yang identik dalam beladiri judo. Pukulan dan tendangan juga ada meski lebih sedikit namun justru ditunjukkan lebih sadis dan brutal saat adegan musuh dilumpuhkan oleh tokoh Ito dengan cara mematahkan tulang punggung, menendang sendi dan melempar tubuh ke barang pecah belah. Selain itu, tokoh-tokoh petarung disini baik dari Ito, Arian dan juga para villain tidak “malu” menggunakan senjata dan barang yang ada di sekitar sebagai alat pembunuh. Koreografi action ini tidak hanya terpaku dilakukan pada aktor yang tokohnya didesain sebagai petarung, tapi tokoh seperti Fatih dan Bobby bule pun meski digambarkan bukan sebagai tokoh yang jago dalam bela diri namun juga sadis dan ganas dalam bertahan hidup melawan pembunuh dengan mengandalkan senjata dan apapun sampai pecahan jendela untuk melumpuhkan musuh. Ini memberikan kesan bahwa TNCFU ketimbang disebut sebagai film action beladiri malah lebih tepat disebut film survival action dimana para tokoh petarung bukanlah seorang pendekar beladiri yang menyerang dengan etika dan aliran bela dirinya tetapi semuanya adalah pembunuh yang hidup untuk membunuh atau membunuh untuk hidup dengan cara apapun.
Ini yang membedakan TNCFU dengan film action lainnya seperti Headshot dan The Raid 2. The Raid 2 dan Headshot menjual koreografi pencak silat sebagai daya tarik film dan juga memiliki unsur survival action dan gore. Tetapi The Raid dan Headshot masih terkena kritik oleh berbagai pecinta film action yang menilai koreografinya masih kurang realistis karena terlalu banyak adegan silat yang tidak realistis (seperti tendangan berputar) dan elemen one man army dalam tokoh Rama dan Ishmael yang meski diserang oleh berbagai musuh namun hanya mengalami luka kecil. Berbeda dengan Ito yang disini ditunjukkan hampir mati berkali-kali dan berbagai luka seperti tembakan di perut, luka tusukan di mulut dan sabetan di beberapa tubuh memberikan kesan bahwa bahkan si protagonis bisa saja mati di setiap adegan pertarungannya. Bila fight scene antara Rama dan The Assassin di The Raid 2 dan fight scene antara Ishmael dan Lee di Headshot dinilai indah dan brutal namun masih predictable, saya bisa pastikan bahwa fight scene antara Ito dan Arian jauh lebih sadis, buas, liar dan lebih unpredictable.
Tidak hanya koreografinya saja yang bagus disini. Practical effect dalam setiap adegan kekerasan disini sangat sadis dan blak-blakan namun pas dan meyakinkan. TNCFU tidak hanya mengandalkan kekerasan yang instan seperti pemenggalan kepala atau penggorokan leher ala Hollywood yang cepat dan berdarah saja. Namun semua adegan dari penggorokan, pemotongan, penembakan dan ledakan terdapat “proses” menuju klimaks sehingga menambah intensitas dan kengerian di setiap adegan action. Kita dapat melihat adegan pembacokan berkali-kali sebelum bagian tubuh terlepas, ledakan granat yang menyebabkan tulang dan daging yang berhamburan sampai tubuh yang terbuka sampai usus berhamburan. Tidak seperti action Hollywood yang masih mengandalkan efek kekerasan dengan CGI yang jatuhnya eksesif dan berlebihan. Masih ingat Ninja Assassin (2009) yang diperankan aktor Korea Rain? Jika ingat, TNCFU jauh lebih sadis dan mendekati realistis dibanding film action sadis Hollywood seperti Ninja Assassin.
Pada akhirnya, TNCFU memang belum mampu memenuhi ekspektasi dalam penceritaan dan perkembangan tokoh dan plot. Plotnya masih terhitung klise dan kurang berhubungan antara satu sama lain. Namun bila mau mengesampingkan aspek plot, TNCFU menjadi sebuah gorefest dan actionfest yang seru, menegangkan, dan brutal. Bagi anda yang menyukai film action beladiri seperti The Raid tapi juga menyukai genre survival horror-slasher ala You’re Next karya Adam Wingard dan Rumah Dara dari Timo Tjahjanto maka film ini menjadi pilihan maha tepat. Siapkan diri anda untuk terkesima lewat pertarungan brutal dan liar dengan darah dan daging yang bertebaran dalam setiap adegan action di The Night Comes For Us.
Comentarios