Milly & Mamet: Bukan kisah Cinta & Rangga, Bukan Film Terbaik Ernest Juga.
- Sang Protagonis
- Dec 27, 2018
- 3 min read
Kenapa Milly dan Mamet yang harus dijadikan film spin-off dari universe Ada Apa Dengan Cinta? Mungkin Ernest Prakasa melihat potensi yang bisa dijelajahi dari sisi komedi. Melihat bagaimana hasil eksekusi film ini sendiri, Ernest tidak benar-benar memanfaatkan itu. Komedi di film ini lebih banyak dieksekusi oleh pemeran pembantu. Kalau memang cara komedi a la Ernest seperti itu, Milly Mamet bukan satu-satunya, atau dua-duanya, karakter yang bisa digunakan untuk ekspansi cerita dari AADC. Tapi bukan berarti film ini tidak layak ditonton. Malah menurut saya film ini harus Ditonton. Tentunya pasar dari film ini adalah anak-anak muda yang masalah hidupnya tidak jauh dari mencari pekerjaan, mengejar mimpi, mengurus anak pertama, atau konflik dengan mertua.

Dua karakter ini diceritakan sebagai pasangan suami istri yang mempunyai anak berumur sekitar enam bulan. Mamet (Dennis Adhiswara) punya kelebihan dalam memasak yang terjebak di dunia perkantoran. Sampai akhirnya ada satu teman lamanya yang mengajaknya memulai usaha restoran. Milly (Sissy Priscillia) merasa bosan sehari-hari hanya mengurus anaknya. Akhirnya Milly memutuskan untuk kembali bekerja. Sangat simpel bukan? Tapi Ernest terlihat maruk dengan semua kemungkinan konflik yang bisa diangkat. Imbasnya film ini menjadi terlihat membingungkan dan lemah.
Harus diakui, Cek Toko Sebelah mengangkat konflik yang cukup kompleks dan berhasil disampaikan dengan tepat. Tapi tidak di film ini. Film ini malah terlihat seperti ingin menguatkan konflik antara beberapa pemain yang malah melupakan pengembangan karakter yang ada di film ini sendiri. Susah memahami konflik serta penyelesaiannya, saat penonton tidak tahu sebenarnya sifat karakter itu sendiri gimana. Bayangkan anda berusaha untuk bolos kerja dengan alasan sakit, tapi muka anda tidak terlihat pucat, suhu badan anda normal, dan mimik muka anda terlihat sedang berbahagia. Gimana atasan anda bisa percaya dengan alasan sakit kalau anda sendiri tidak terlihat sedang sakit?

Beberapa penyelesaian masalah pun terlihat sangat simplistic. Rasanya menyebalkan saja melihat begitu banyak konflik antar karakter yang diangkat, tapi penyelesaiannya sangat mudah. Seperti saat James (Yoshi Sudarso) dan Alex (Julie Estelle) bertengkar tentang rencana membuka cabang baru, tiba-tiba terlupakan karena hewan peliharaan Rika (Isyana Sarasvati) mati. Oh! Mungkin dia ingin membuat narasi kalau semua masalahnya bisa diselesaikan dengan melupakannya. Tidak seperti saat dia menginjak foto politikus dulu.
Mungkin itu adalah kelemahan dari Ernest sendiri sebagai penulis naskah. Baiklah, kita pindah ke bagian yang menjadi sisi terkuat Ernest, komedi. Komedi di film ini benar-benar membantu menaikkan mood penonton. Beberapa komedi yang tercipta dari tek-tokan dialog berhasil memancing tawa penonton. Sayangnya, banyak diantaranya terlihat memaksakan. Bukan jokesnya yang dipaksakan. Tapi memaksa membuat adegan yang tidak mempengaruhi alur cerita hanya untuk memancing dialog komedi itu muncul.
Kalau kalian masih membaca tulisan ini sampai kalimat ini, selamat, anda baru saja melewati ulasan kenapa film ini bukan film yang bagus. Tentu, dengan adanya kesusahan, ada kemudahan. Dengan adanya keburukan, ada kebagusan. Jangan terlalu terfokus pada ulasan buruk tentang film ini. Film ini bisa menggambarkan kondisi konflik keluarga yang cukup relatable menurut saya. Film ini menggambarkan ribetnya pasangan suami istri modern yang baru punya anak. Istri yang sebelumnya terbiasa sibuk dengan pekerjaan, tiba-tiba harus menghabiskan waktu lebih banyak di rumah mengurus anaknya. Belum lagi tuntutan orang tua yang menginginkan anaknya menjadi figur seperti dirinya.
Menarik sebenarnya saat di awal cerita Milly menanyakan apakah Mamet bahagia bekerja di kantor dan Milly mendukung saat Mamet bilang ingin memulai bisnis di dunia kuliner. Menurut saya, ini sangat dekat dengan kondisi saat ini. Di mana anak-anak muda banyak ditawari untuk mengejar passion dan kebahagiaan mereka dibanding kesuksesan yang hanya diukur dengan uang. Sayangnya premis ini tidak digali lebih dalam lagi. Mungkin mereka takut film ini bakal berakhir menjadi film yang terlalu milenial kalau lebih menggali sisi ini. Tidak masalah. Semua orang pasti melakukan blunder yang terlanjur tidak bisa diperbaiki lagi. Kandidat presiden pun bisa melakukan kesalahan strategi kampanye, kok. Santai saja.
Bagian yang paling saya suka dari film ini adalah semua scene yang ada Isyana Sarasvati. Hei, hei, jangan salah sangka. Saya yakin kalian juga suka dengan peran Isyana di film ini. Tingkah lakunya benar-benar mengundang tawa. Terlihat sangat natural. Saya tidak menyangka di balik lagu-lagunya, personanya, dan suaranya di lagu-lagunya, dia terlihat benar-benar tampil berbeda. Mungkin dia bisa dianggap sebagai scene stealer di film ini.
Film ini tentu bukan untuk ditonton bersama keluarga. Pesan dari film ini tidak bisa benar-benar tersampaikan apabila anda sudah berkeluarga dan punya anak yang sudah mulai memasuki tingkat SMP. Begitu juga dengan anak-anak sekolah yang sedang menjalani musim liburan kenaikan kelas. Susah sepertinya untuk mereka memahami sulitnya memilih antara karir atau kebahagiaan orang tua. Tapi kalau kalian adalah orang yang baru-baru ini menikah, atau mau menikah, film ini cocok untuk anda nikmati.
Comments