top of page
Search

Green book

  • Writer: Sang Protagonis
    Sang Protagonis
  • Apr 12, 2019
  • 6 min read

Setelah bulan desember banyak film bagus dan menghibur (Spider-Man: Into The Spider-Verse FTW!!!) film yang muncul di bioskop selama bulan januari terasa lesu. How To Train Your Dragon 3 memang tontonan yang menyenangkan, tapi apalah ini kalau dibandingkan dengan film selama bulan Desember. Glass pun jauh dari ekspektasi dari penonton. Penonton yang selalu mengharapkan M. Night Shyamalan selalu berhasil memberikan plot twist di filmnya, ternyata kali ini, ya… gitu aja. Setelah kebanyakan bulan Januari saya habiskan nonton film yang ada di Netflix, weekend bulan Februari sepertinya bakal banyak saya habiskan di bioskop. Akhir pekan kemarin saya datang ke bioskop dengan penuh harapan dan menonton Green Book. Film yang masuk nominasi Best Picture Academy Award 2019. Well, gue sendiri nonton Green Book emang gara-gara pengin nonton film nominasi Oscars di bioskop. Selain itu, Mahershala Ali yang tampil di poster film ini tentu bikin minat saya buat nonton lebih besar.



Film ini adalah cerita tentang Tony Vallelonga, seorang American Italian yang membenci orang kulit hitam, yang mendapatkan pekerjaan untuk menjadi sopir sekaligus asisten pribadi Dr. Donald Shirley, pianis kulit hitam, selama dua bulan tur konsernya. Pekerjaan Tony Lip terbilang tidak mudah karena alasan dua hal. Pertama, dia tidak hanya mengantarkan Don Shirley dari satu titik aman ke titik aman lainnya layaknya supir taksi, tapi dia mengantarkan Don Shirley ke deep south of America di mana toleransi terhadap orang berwarna sangat rendah, bahkan bisa dibilang tidak ada (karena daerah itu merupakan daerah segregasi). Kedua, karena tempat tujuannya yang tidak aman untuk Don Shirley, Tony Lip,panggilan akrabnya Tony Vallelonga, juga berkewajiban untuk menjadi bodyguard.


Film ini mengambil waktu di tahun 1960an, masa kebijakan segregasi sangat kuat dan intoleransi terhadap masyarakat berwarna sangat kecil. Tapi film ini bukanlah tipe film Fence (2016) atau Moonlight (2016) yang melodramatic. Film ini banyak sekali menampilkan komedi yang cukup getir untuk ditertawakan. Misalnya bagaimana Tony Lip menganggap Don Shirley selalu makan ayam seperti stereotype orang kulit hitam pada umumnya dan juga menikmati musik yang biasa dinikmati oleh orang kulit hitam seperti Little Richard atau Chubby Checker.


Film ini bukan film biopic seperti Bohemian Rhapsody atau Imitation Game di mana semua orang mengenal pemeran utamanya dan tahu sedikit/banyak tentang latar belakang pemeran utama film itu. Bukan juga film seperti Wolf of The Wall Street atau Theory of Everything yang berdasarkan dari buku yang mungkin saja sudah banyak yang membaca ceritanya tentang mereka. Green book mirip seperti Spotlight, mungkin beberapa orang pernah mendengar ceritanya, tapi tidak cukup populer. Setelah selesai menonton film ini anda akan mulai mencari karya-karya milik Don Shirley dan narasi apa yang coba disampaikan oleh beliau.



Meski banyak yang menarik dari film ini dan bagaimana film ini menampilkan isu rasisme di Amerika Serikat melalui hubungan persahabatan yang bagus, film ini terasa terlalu sentris kepada Tony Lip. Tony Lip terlihat beberapa kali menyelamatkan Don Shirley dari orang-orang kulit putih yang jelas tidak terima dengan adanya orang kulit hitam di daerah mereka. Seperti saat Shirley dipukuli oleh beberapa orang kulit putih di bar saat Shirley minum-minum di sana atau saat Shirley ditangkap oleh polisi. Narasi White Savior di film ini masih terlalu terasa mengganggu untuk saya. Bukan karena Tony selalu berhasil menyelamatkan Don Shirley dari semua masalah rasisme saat itu, tentu itu adalah alasan Tony Lip dipilih untuk menjadi Chauffeur, tapi tidak terlihatnya peran Don Shirley yang sudah mengambil resiko besar untuk mengambil konser tur ke daerah extreme intolerance dalam film itu. Sampai akhir cerita pesan paling terasa dari film itu adalah American Dream hanyalah milik orang kulit putih, bukan milik orang berwarna.


Don Shirley menceritakan kepada Tony tentang kehidupannya di dunia permusikan. Di umur 3 tahun, Don shirley mulai bermain piano. Sampai akhirnya dia mendapatkan undangan untuk belajar di Leningrad Conservatory of Music dan mempelajari beberapa musik klasik di Catholic University of America. Sayang sekali keinginannya untuk terus menampilkan musik klasik di atas panggung ternyata mendapat penolakan dari gurunya dan menyuruhnya untuk lebih berlatih untuk bermain lagu populer karena, menurutnya, tidak ada orang yang ingin mendengar musik klasik dimainkan oleh orang kulit hitam. Jahat. Memang begitulah gambaran rasisme yang terjadi pada masa itu. Jahatnya masa segregasi kepada orang kulit hitam tentu tidak hanya berhenti di situ. Beberapa kali Don Shirley dicegah menggunakan fasilitas umum yang biasa digunakan oleh tamu lainnya dan diberikan fasilitas yang jauh tidak layak untuk diberikan kepada seorang tamu yang dihormati. Seperti saat Shirley tidak diperbolehkan menggunakan toilet rumah dan disuruh untuk menggunakan toilet yang berada di antara pekarangan rumah yang hanya berupa gubuk kayu saja.



Film ini memberikan informasi dan edukasi tentang rasisme dan intoleran di tahun 60an. Memperlihatkan beberapa kegetiran di mana beberapa orang kulit hitam sedang menggarap kebun dengan segala kehidupan kelas bawahnya. Tapi media berita lebih banyak memberikan exposure kepada statement yang keluar dari keluarga Don Shirley. Banyak artikel yang muncul tentang penolakan Don Shirley saat masih hidup untuk menceritakan ulang kejadian perjalanannya. Selain itu saudara dari Don Shirley juga mengatakan bahwa Don Shirley tidak pernah menganggap Tony Lip sebagai salah satu temannya, sedangkan di film itu diceritakan mereka berdua adalah sahabat dekat. Tapi apakah kasus-kasus tersebut merupakan strategi marketing untuk menaikkan jumlah penonton mereka seperti drama-drama yang sering dilakukan oleh pemain film untuk menaikkan pasar mereka? Menurut saya tidak. Melihat kualitas film yang ditampilkan, film ini memang layak untuk mendapatkan penonton yang banyak. Selain itu, untuk apa menarik perhatian penonton dengan cara seperti itu kalau mereka bisa mendapatkan nominasi di Oscar 2019? Jangan bandingkan film ini dengan Youtube Rewind Indonesia.

Film ini disampaikan dengan ringan. Saya tidak pernah mengira ini adalah film komedi. Saya sendiri menyiapkan diri saya dengan kemungkinan film yang bakal sangat berat seperti Birdman atau Moonlight. Ternyata dialog yang terjadi sangat mudah dicerna, penyampaian pesan yang juga mudah dipahami oleh penonton, dan plot yang jelas. Saya sangat menikmati waktu saya dalam bioskop bersama pasangan saya dan dua orang lainnya. Iya. hanya ada empat orang penonton yang menonton di waktu itu. Sisanya hanya bangku kosong. Sayang sekali film ini masih sepi peminat di Indonesia meski sudah diumumkan sebagai nominasi film terbaik Oscar 2019.


Kalau memang judul dan sutradara yang tidak cukup terkenal untuk kaum awam, mestinya nama Viggo Mortensen dan Mahershala Ali bisa mengangkat pamor film ini seperti mereka menaikkan kualitas film ini dari akting mereka. Kedua nama tersebut mendapat nominasi sebagai aktor dan aktor pembantu terbaik Oscar 2019 karena penampilan mereka yang bagus di film ini. Saya sendiri sangat suka dengan akting Mahershala Ali sejak perannya di Moonlight. Mahershala Ali merupakan orang yang selalu saya tunggu perannya sebagai pemeran utama film. Meski hanya peran pembantu, kualitas akting yang diberikan selalu memuaskan saya sebagai penonton. Mahershala Ali dari film Moonlight dan film ini terasa seperti melihat dua orang yang berbeda. Meski orang yang sama, mereka berdua terasa sangat berbeda. Mestinya Karin Novilda belajar banyak dengan Mahershala Ali agar bisa membedakan dirinya dengan Awkarin.


Melihat persaingan film yang ada di nominasi best picture Oscars 2019, sepertinya susah untuk Green Book mendapatkan penghargaan dari kategori ini. Saya sendiri masih menjagokan Roma karya Alfonso Cuaron untuk memenangkan kategori ini. Akan tetapi itu tidak mengurangi penilaian saya terhadap film ini. Film ini tetap layak mendapatkan atensi lebih besar dari penikmat film terutama di Indonesia. Selain itu saya yakin Mahershala Ali akan memenangkan piala Oscar di kategorinya, atau paling tidak di hati saya.


====================================================================


Artikel ini ditulis sebelum Academy Award dilaksanakan, selesai disunting setelah Academy Award. This is something to keep you catch up. Seperti prediksi, Mahershala Ali memenangkan kategori pemeran pembantu terbaik. Memang seharusnya dia yang menang. Selain itu film ini juga memenangkan kategori Best Original Screenplay. Nick Valelonga cukup percaya diri tujuannya dia untuk mengedukasi soal rasial telah berhasil dan mendapatkan trofi atas itu. Yang mengejutkan, Green Book berhasil memenangkan kategori Best Picture, atau film terbaik versi Academy Award. Bukan karena apa-apa, tapi masih ada film lain yang cukup atau bahkan lebih pantas mendapatkan kategori ini. Tentu banyak artikel yang muncul mengatakan kalau Academy baru saja mencuri piala Oscars (Best Picture) dari Roma dan diberikan begitu saja ke Green Book. Banyak juga yang mengatakan bahwa film yang sangat rasis ini tidak layak memenangkan kategori paling bergengsi ini. Saya sendiri merasa film ini tidak seharusnya memenangkan kategori ini. Roma adalah film yang lebih layak untuk memenangkan kategori ini. Kalaupun bukan Roma, tetap saja bukan Green Book untuk pilihan selanjutnya. Masih ada Vice, The Favourite, atau BlacKkKlansman. Tapi kita semua sudah tahu ke mana condong Academy selama ini dalam memilih pemenang untuk Best Picture. Semoga Alfonso Cuaron tetap tabah menerima semua cobaan ini.

 
 
 

Comments


Post: Blog2_Post

©2018 by protagonis. Proudly created with Wix.com

bottom of page