top of page
Search

Foxtrot Six: Gimmick ambisius sineas action Indonesia lewat CGI, distopia dan… drama.

  • Writer: Sang Protagonis
    Sang Protagonis
  • Apr 11, 2019
  • 10 min read

Updated: Apr 12, 2019

Boleh dibilang bahwa sineas Indonesia dalam kurun 5 tahun terakhir ini semakin maju dibanding tahun sebelumnya, terutama untuk film action. 15 tahun yang lalu, genre action merupakan genre yang masih dianggap terlalu ambisius dan kurang aman untuk digarap di perfilman Indonesia. Dengan munculnya The Raid (dan sekuelnya) kemudian Wiro Sableng yang tidak hanya sekedar menjual koreografi aksi beladiri tapi juga teknologi CGI, sineas Indonesia berusaha untuk lebih ambisius dengan menampilkan Foxtrot Six. Film ini tidak hanya ingin menjual koreografi beladiri dan CGI saja tapi juga menjual genre sci-fi dengan setting cyberpunk distopia yang ditunjukkan di desain kostum dan setting film, teknologi green screen, adegan urban warfare dan spionase militer. Terakhir, yang paling ciri khas dalam film ini adalah seluruh aktor Indonesia disini berdialog Bahasa Inggris dalam semua adegan. Semua atribut di atas adalah fitur yang sangat umum dalam film action Hollywood karena Foxtrot Six dengan jelas ingin menunjukkan bahwa sineas Indonesia memang mampu untuk membuat film bergaya Hollywood. Budgetnya pun juga tidak main-main, 5 juta dollar (setara dengan 70 miliar rupiah) dikeluarkan untuk membuat film ini. Memang bukan budget yang besar untuk kelas Hollywood, tapi untuk taraf film Indonesia jelas ini tidak main-main.



Foxtrot Six menceritakan kondisi global dimana kelaparan merajalela di seluruh negara, sampai-sampai harga pangan sedunia lebih mahal dibandingkan harga minyak. Indonesia sebagai negara produsen pangan berupaya menjadi solusi krisis global. Namun sebelum inisiatif itu akan direalisasi, Partai Piranas menggulingkan presiden yang sah (Miller Khan). 12 tahun setelahnya, Partai Piranas menjadi partai politik terkuat yang menguasai segala aspek pemerintahan namun kondisi seluruh masyarakat Indonesia semakin parah dengan banyaknya kelaparan, kriminalitas dan kekerasan aparat. Angga (Oka Antara), mantan marinir yang menjadi kader Partai Piranas mengajukan sebuah proposal kepada Presiden Barona (Willem Bevers) dan tiga konglomerat Partai Piranas untuk mengamankan situasi yang serba kacau dan melawan teroris yang melawan pemerintah. Angga kemudian diculik oleh kelompok teroris militan bernama Reform yang ternyata dipimpin oleh mantan kekasihnya, Sari (Julie Estelle). Saat pertemuan kembali Angga dan Sari, mereka dikepung oleh pasukan militer khusus yang dipimpin oleh Wisnu (Edward Akbar). Angga semenjak itu dinyatakan sebagai pembelot negara. Mengetahui bahwa proposalnya justru digunakan untuk menjebak dirinya dan memperkuat posisi Partai Piranas yang korup, Angga akhirnya mengumpulkan lima teman seperjuangannya untuk bersama-sama menumbangkan rezim Partai Piranas dan menyelamatkan masyarakat Indonesia yang sengsara.


Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah Foxtrot Six dapat menjadi sebuah film yang memang bagus dengan apa yang berusaha ditampilkannya, baik plot, tema, setting, dialog dan sinematografis yang diberikan? Atau jatuhnya hanya menjadi gimmick semata untuk menunjukkan bahwa “ini loh film Indonesia bisa seperti Hollywood dan go international” tanpa menghiraukan eksekusi filmnya seperti apa di akhir?



Tema distopia di film ini sebenarnya menarik, menceritakan krisis global pangan yang memicu pertikaian dalam masyarakat dan jatuhnya sebuah peradaban ke pemerintahan totaliter. Tapi sayangnya upaya untuk mengembangkan tema tersebut masih terlalu minim dan terlalu basic. Tidak ada penjelasan mengapa krisis pangan global dapat memicu penggulingan presiden dan bagaimana penggulingan tersebut bisa berhasil. Tiba-tiba saja Partai Piranas sebagai fraksi antagonis di film ini naik sebagai partai pemerintahan yang otoriter dan berkuasa penuh. Tidak ada elemen politik pangan, konflik sosial, dan hegemoni elit politik yang meyakinkan untuk menjelaskan bahwa premis film ini adalah distopia yang disebabkan oleh kuasa elit akan kebutuhan pokok manusia. Antagonis di sini cuma pejabat korup dan manipulatif tanpa ada hubungan dengan premis krisis pangan. Meski ada sedikit elemen politik dimana ketika Angga mengajukan proposal untuk dibentuknya propaganda pemerintahan untuk melawan propaganda terorisme, namun ini hanyalah alur klise ala cerita politik konspirasi yang juga tidak bisa menjelaskan propagandanya seperti apa. Premis krisis pangan hanya sekedar diceritakan untuk membuat latar cerita yang dipenuhi oleh orang-kelaparan, pemukiman kumuh dan keributan terlihat make sense dibanding membuatnya menjadi tema yang hidup.


Memang sih terlalu berharap untuk film action bisa memiliki cerita distopia yang sangat nuanced dan menarik dari segi elemen politik dan filosofis. Film Hollywood saja yang menggunakan tema ini belum tentu bisa. Tapi lebih masuk akal kalau dari awal premisnya tentang presiden yang jujur dan anti korup digulingkan oleh partai korup dan muncul korupsi pangan di seluruh negeri. Mumpung lagi masa pemilu sepertinya premis ini lebih kena untuk masyarakat Indonesia yang pengetahuan politiknya masih berkutat tentang good and evil dibandingkan membawa tema krisis pangan.


Perkembangan karakter di film ini terasa kurang dan dangkal. Minimnya korelasi antara tema cerita dan perkembangan tokoh di film ini menjadi penyebab kenapa setiap karakter kurang terasa ngena, terutama dengan tidak ada upaya untuk mengaitkan dan menjelaskan konflik batin dan motivasi setiap tokoh dengan situasi dan kondisi cerita yang ada. Angga sebagai tokoh utama tidak punya tujuan yang jelas dari awal sampai akhir. Entah dia ingin menjadi kader Piranas yang loyal, entah hidupnya sebenarnya masih dihantui oleh hubungannya dengan Sari, atau dia sebenarnya tokoh pahlawan yang belum tahu sekutunya, tidak jelas sama sekali. Sari membentuk Reform untuk melindungi kaum lemah dan melawan rezim korup tapi tidak dijelaskan apa yang membuatnya menjadi tokoh demikian dari fenomena krisis dan revolusi Piranas. Tidak juga dijelaskan asal konflik batin Oggy (Verdi Solaiman) yang tidak mampu membanggakan ibunya. Bara (Rio Dewanto) yang maskulin dan suka baku hantam, Tino (Arifin Putra) yang oportunis dan Ethan (Mike Lewis) seorang hacker berubah menjadi youtuber (Yak, karena jadi youtuber lebih menguntungkan dibanding jadi hacker meski subscribernya sedang demo atau kelaparan di jalan) adalah tokoh-tokoh lainnya yang cuma dimunculkan sebagai sidekick yang asik di pengenalan tapi hambar di akhir. Hal ini disebabkan tidak ada upaya serius untuk menjelaskan karakter mereka, konflik mereka dan situasi-kondisi mereka hadapi di semua adegan.


Hanya dua tokoh yang setidaknya menarik disini, yaitu Wisnu dan Spec (Chicco Jerikho). Wisnu sepertinya hanya salah satu tokoh yang sifat dan keputusannya paling nyambung dan relatable dengan konflik dan premis yang ada di film ini. Sebagai tokoh antagonis prinsipnya hanya satu, bahwa manusia yang kelaparan adalah manusia yang agresif dan layak untuk ditertibkan dengan kekerasan. Memang filosofi yang dangkal dan agak repetitif dari awal sampai akhir film, tapi setidaknya dia adalah tokoh antagonis yang sadar, responsif dan berkembang dengan latar film. Sedangkan Spec sebenarnya menarik bukan karena dia adalah tokoh yang berkembang, tapi dia adalah karakter yang cocok untuk setting distopia ini. Misterius, tidak banyak bicara tapi ahli dalam bertempur dan bertahan hidup. Mengingatkan pada Eli (The Book of Eli) dan Max Rockatansky (Mad Max) yang tidak banyak bicara tapi serius dalam bertarung. Karena minim dialog, Spec menjadi relatable disini berkat action scene nya yang menjadi cara tokoh seperti dia “berdialog” dengan setting yang ada.



Yang semakin bikin mengernyitkan dahi ketika menonton film ini adalah aspek dramanya yang… Ya Tuhan, maksa, cheesy dan tidak ngena. Adegan di awal film dimana Sari menyapa “How?” dan dijawab Angga dengan “Starving.” yang kemudian menjadi adegan Angga melamar Sari adalah salah satu contoh aspek drama Foxtrot Six yang bikin ketawa. Bahkan sampai di tengah-tengah film, drama ini masih ada ketika Sari sudah menjadi ketua teroris sekaligus ibu dari anak kandung Angga sendiri. Meski Sari sakit hati terhadap Angga setelah berpisah dalam waktu lama, mereka kemudian berkomunikasi mesra setelah beberapa dialog. Sungguh drama yang benar-benar dipaksa tanpa upaya untuk membuat make sense hubungan antara Sari dan Angga. Hubungan antara Angga dan anaknya juga kurang hidup dan mengena, seperti saat Angga menghadiahkan buku dongeng ke anaknya. Meski aspek drama ini dibutuhkan untuk memperkuat salah satu adegan dimana Angga harus memutuskan hidup mati seseorang, karena kurangnya chemistry antar tokoh, aspek drama jadi terasa percuma dan hanya membuat semakin tidak konsisten atmosfir film.

Aspek laga dalam film ini boleh dibilang fifty-fifty. Beberapa sisi ada adegan action yang seru tapi beberapa kurang dalam eksekusi. Untuk koreografi beladiri di beberapa adegan boleh dibilang cukup seru, apalagi dengan keterlibatan Uwais Team di film ini. Meski hampir seluruh aktor ada adegan beladirinya, dua karakter yaitu Bara dan Spec lebih menonjol untuk porsi beladirinya. Rio Dewanto sebagai Bara disini sebenarnya berperan menjadi magnet action beladiri dengan adegan panjat pinang dan adegan baku hantam dengan tentara militer. Namun dibanding Bara, saya lebih tertarik dengan adegan beladiri Spec, terutama adegan di atap gedung saat Spec diserbu ketika dia sedang membidik tentara militer. Ini dikarenakan koreografi Spec lebih melebur dengan karakternya dibandingkan Bara. Adegan Bara hanya menjual koreografi baku hantam, sesuai dengan sifatnya. Alhasil adegan Bara saat melawan tentara kurang dinamis karena isinya hanya tinju dan tendangan, lebih predictable dan kurang dinamis. Bila dibandingkan dengan Spec, karena tokohnya lebih bersifat survivor, adegan Spec lebih thrilling, terutama ketika Spec membunuh setiap tentara musuh dengan gesit, cekatan dan efektif, apalagi dalam kondisi musuh masih memegang senjata.. Adegan Bara benar-benar full beladiri tetapi adegan Spec adalah kombinasi thriller action. Dengan setting distopia dimana musuh begitu kejam, adegan Spec lebih cocok dibanding adegan Bara.


Sembari adegan baku hantamnya cukup seru, adegan baku tembaknya tidak demikian. Beberapa adegan terasa terlalu buru-buru seperti adegan saat Wisnu menyerbu politikus di jalan raya. Penyerbuan Wisnu dengan cepat membunuh beberapa tokoh figuran tapi dengan cepat pula Foxtrot Six datang melenyapkan musuh dan menyelamatkan politikus dalam durasi adegan sekitar 5 menit. Kurang intens karena adegannya terlalu singkat untuk adegan yang seharusnya penting untuk plot dan bisa memberikan thrilling effect di cerita. Plot hole berupa plot armor dimana karakter penting seakan tidak bisa mati sebelum waktunya juga terasa disini di mana dalam setiap adegan baku tembak. Tokoh seperti Angga dkk seakan terhindar dari peluru sebelum saatnya mereka tertembak. Ini mengurangi aspek realistis film ini. Selain adegan baku hantam dan baku tembak, beberapa adegan juga agak klise ala film mainstream action Hollywood. Cara Ethan meng-hack jaringan keamanan Piranas adalah salah satu adegan klise ala Hollywood yang seringkali diejek karena tidak realistis dan konyol oleh penonton Amerika tapi justru dipraktikan di sini. Adegan elevator jatuh juga menjadi contoh adegan klise yang intinya selama protagonis dan tritagonis penting belum keluar, elevatornya tidak akan jatuh-jatuh. Perlukah adegan klise ala Hollywood ini dipraktikan juga disini?


Yang tentu menarik adalah adegan CGI di film ini. Mari kita apresiasi karena CGI di Foxtrot Six boleh dibilang sudah mampu menciptakan sebuah setting dystopic cyberpunk yang dibuat sepenuhnya oleh CGI, boleh dibilang pertama kali di film Indonesia. Setting kompleks elit partai Piranas dan kota Jakarta tahun 2031 boleh dibilang cukup meyakinkan. Desain interior adegan saat di kamar Angga dan markas Wisnu juga jadi salah satu animasi CGI cyberpunk yang menarik untuk dilihat. Coba saja kalau tidak ada product placement seperti gedung Gojek di Jakarta 2031, setting distopia di Foxtrot Six akan lebih berasa. Karena akan terasa lucu kalau dalam kondisi krisis pangan dan kerusuhan publik masih ada abang Go-Food nganterin pesanan ayam geprek.


Teknologi CGI juga ada dalam beberapa adegan action, seperti ketika salah satu tentara Wisnu menyerbu salah satu markas Reform dengan jubah kamuflase. Namun beberapa CGI masih agak kasar, seperti saat tentara kamuflase menyerang militan Reform. Gerakan terlalu cepat dan terlalu kelihatan sebagai animasi CGI sehingga mengurangi aspek realistis yang dimana CGI yang bagus seharusnya mampu terlihat riil. Yang lebih lucu adalah adegan Kodiak (tentara senjata berat Piranas) jatuh ketika terbunuh yang lebih mirip efek 2D.


Desain kostum Foxtrot Six juga salah satu yang perlu diapresiasi. Kostum tentara Piranas mampu memberi aura suatu masyarakat dibawah rezim otoriter. Meski CGI Kodiak saat jatuh cukup lucu, desain Kodiak juga menarik, mengingatkan saya pada power armor di franchise game Fallout. Sayang sekali untuk Foxtrot Six sebagai pihak protagonis hanya memiliki desain kostum tentara umum. Padahal akan menarik bila setiap anggota Foxtrot Six punya ciri khas desain secara grup maupun individu.


Terakhir, yang menjadi aspek yang paling menonjol namun juga yang paling wajib dikritisi disini adalah keputusan untuk membuat film ini dalam bahasa Inggris penuh. Apakah yang menjadi alasan pembuat film ini menggunakan dialog bahasa Inggris untuk film anak bangsa ini? Apakah bahasa berhubungan dengan latar film? Tidak. Setting Foxtrot Six masih berada di negara Indonesia dengan nama-nama tokohnya yang jelas-jelas nama khas Indonesia zaman Hindu seperti Angga, Sari, Bara, dan Wisnu. Adanya adegan panjat pinang juga menunjukkan ciri khas budaya masyarakat Indonesia. Jelas tidak ada korelasi antara setting cerita dengan penggunaan bahasa. Lucunya, salah satu adegan sebelum Foxtrot Six memulai misi menyergap kompleks Piranas, ketika Angga berteriak ‘Ready!?” anggota skuad lainnya menjawab “Siap!!!”. Tanya dalam bahasa Inggris, jawabannya bahasa Indonesia.


Kalau memang alasannya karena film ini ditujukan untuk penonton luar negeri yang berbahasa Inggris dan tidak mau mengandalkan dubbing, perlukah kita mengabaikan relevansi latar cerita dan bahasa demi menarik penonton? Mengapa korelasi latar cerita dan bahasa penting? Masih ingat film Java Heat yang diperankan Kellan Lutz, Mickey Rourke dan Ario Bayu? Salah satu adegannya, Ario Bayu disuruh berbahasa Inggris oleh atasannya seorang jenderal polisi karena si jenderal tidak paham. Tapi sang jenderal adalah orang Indonesia tulen dan di adegan berikutnya beliau berbicara menggunakan bahasa Indonesia. Ketidaksinkronan antara bahasa dan latar cerita ini membuat geli penonton karena membingungkan penonton dan latar cerita. Hal ini juga dirasakan ketika menonton Foxtrot Six.


Apalagi perlu disadari bahwa menarik penonton luar negeri tidak seharusnya hanya semata-mata menggunakan gimmick bahasa Inggris. Penonton luar negeri tidak menonton film yang sesuai dengan bahasa yang mereka miliki (apalagi bahasa Inggris yang merupakan bahasa internasional), tapi menonton film yang sesuai dengan tren budaya pop mereka. Alasan mengapa film action lokal seperti The Raid dan film horror slasher seperti Rumah Dara bisa menarik penonton luar dikarenakan genre film-film ini cocok dengan audiens masyarakat luar. Foxtrot Six bisa saja lebih menjual lagi kalau saja pembuat film lebih memperhatikan relevansi cerita, tokoh dan karakter ketimbang hanya memamerkan dialog bahasa Inggris yang kebanyakan masih kaku. Dialog bahasa Inggris di Foxtrot Six menjadi percuma selain hanya menjadi gimmick untuk menonjolkan aktor-aktor berbakat Indonesia yang kebetulan bisa bahasa Inggris tanpa menonjolkan kualitas tokoh dan setting dalam cerita itu sendiri.


Alhasil, menurut saya Foxtrot Six hanyalah sekedar gimmick untuk menunjukkan bahwa Indonesia bisa membuat film bermodal besar yang berbahasa Inggris dan ada CGI-nya. Sebagai film sendiri, Foxtrot Six belum sepenuhnya jadi. Lemahnya perkembangan tema cerita, latar dan penokohan membuat film ini kurang ada nuansanya. Daya tarik lainnya seperti dialog bahasa Inggris, CGI dan koreografi beladiri juga tidak begitu banyak membantu menghidupkan elemen pokok film ini. Memang perlu diapresiasi CGI dan design creative dalam film ini, tapi dua hal ini juga masih kurang untuk menghidupkan atmosfer dalam film Foxtrot Six sendiri. Percuma mengeluarkan 5 juta dolar kalau ujung-ujungnya kalah dengan studio sebelah yang sedang menayangkan Dilan 1991. Kalau mau membuat film distopia yang serius, sineas Indonesia bisa belajar dari George Miller dan filmnya Mad Max yang low budget dan low CGI namun mampu menciptakan film yang atmosfer distopia nya berasa dengan modal cerita dan penokohan yang sederhana tapi kena dengan tema.


Kalau anda merasa bahwa review ini kurang adil karena seakan kurang mengapresiasikan karya anak bangsa dan cenderung terlalu membandingkan dengan film barat, mari renungkan dulu. Apa yang ingin kita tunjukkan ke dunia film luar? Sebuah film bagus atau sebuah gimmick semata? Kalau hanya gimmick, film Raffi Ahmad dan Anggi Umbara juga kebanyakan hanya menjual gimmick yang dijadikan film. Foxtrot Six memang kurang adil disetarakan dengan film Raffi Ahmad tapi jangan sampai film yang konsepnya serius tereksekusi menjadi gimmick. Kita tidak ingin sebuah gimmick dijual menjadi film, tapi jangan sampai kita membuat film yang ujung-ujungnya jadi gimmick. Dan yang diinginkan penonton luar Indonesia jelas bukanlah gimmick berupa film berdialog bahasa Inggris, tapi film dengan cerita yang sederhana namun hidup, mengena dan jadi.

 
 
 

Comments


Post: Blog2_Post

©2018 by protagonis. Proudly created with Wix.com

bottom of page