Captain Marvel: Marvel's Attempts to Empower Women.
- Sang Protagonis
- Apr 23, 2019
- 5 min read
“Film superhero wanita ngga akan pernah sukses!” kata seorang laki-laki dengan penuh racun patriarki dalam setiap nadanya. Begitulah kira-kira kalau pikiran orang yang dipenuhi superioritas laki-laki. Kemudian muncullah live action film Wonder Woman yang diperankan oleh Gal Gadot yang membuat wajah orang yang menyembah superioritas lelaki memerah. Bahkan beberapa hari sebelum penayangan perdana film Wonder Woman, situs Rotten Tomatoes dipenuhi dengan review buruk di halamannya. Kebanyakan isinya tidak jauh dari komentar negatif tentang figur wanita yang sangat kuat yang memimpin sekumpulan laki-laki dan menyelamatkan peradaban manusia.

Kemudian muncul lagi satu superhero perempuan dengan kostum berwarna-warni. Captain Marvel merupakan film dengan lead character perempuan pertama dari Marvel Cinematic Universe (MCU), dengan catatan tidak menghitung TV series MCU. Kedatangan film ini juga tidak luput dari cercaan orang-orang patriarki. Sekali lagi film yang belum tayang di manapun diserang dengan formula yang sama, merendahkan perempuan.
Film ini menceritakan Vers (Brie Larson), seorang wanita dengan kekuatan super dari sebuah tempat (atau mungkin planet) bernama Hala, yang bergabung dengan Kree, satuan pejuang, untuk melawan suku Skrull yang mampu meniru semua bentuk yang dilihatnya. Mirip Mystique dari X-Men, hanya berbeda bentuk aslinya saja. Dalam perjalanan misinya, dia sampai ke bumi dan bertemu dengan Nick Fury (Samuel L. Jackson). Mereka berdua akhirnya bekerja sama untuk menyelesaikan misi mereka dan sampai akhirnya Vers menemukan jati dirinya sebagai Carol Danvers.
Kalau dilihat dari plot cerita, Film ini bukan film yang fantastis seperti The Dark Night buatan Christopher Nolan. Kalau dibandingkan dengan Wonder Woman, film ini terasa masih di bawahnya. Beberapa aspek menjadi pertimbangan kualitas film ini belum bisa menandingi Wonder Woman.
Dari dasarnya, film ini sepertinya memang tidak berniat memberikan pengalaman baru bagi penonton. Ceritanya biasa saja. Penggambaran dunia yang abu-abu yang sudah sering dipakai di beberapa film MCU terakhir juga tampil di sini. Sayangnya cerita yang terlalu simpel membuat film ini tidak memorable.
Belum lagi aksi berantem di film ini terasa sangat hambar. Kemampuan Brie Larson di film Room seperti terdegradasi di film ini. Mulai dari kuda-kuda, pukulan, tendangan dan lompatan Brie mirip seperti anak-anak yang sedang bermain dengan bonekanya.
Kalau melihat film-film MCU lainnya, sepertinya pengembangan karakter di film ini terasa paling lemah. Beberapa karakter terasa dikembangkan dengan terburu-buru. Vers yang awalnya tidak banyak bicara dan lebih banyak melayangkan pukulan ke Skrull, tiba-tiba bisa menerima ajakan diplomasi dari Skrull.

Melihat karakter Carol Danvers di film ini seperti baru saja bertemu orang asing yang tiba-tiba terbuka tentang permasalahan dirinya, kemudian sebelum dia pulang, dia pinjam duit buat bayar kontrakan setahun. Susah untuk langsung percaya, tapi melihat usahanya, dia ngga bercanda. Slow down, Danvers!
Jude Law, salah satu aktor yang ditunggu perannya di film ini tampil dengan tidak signifikan. Hanya di 30 menit awal perannya berguna, sisanya dia tampil untuk menyegarkan mata saja. Sayang sekali dengan kualitas cast seperti Jude Law tidak dikembangkan dengan optimal.
Tapi sebenarnya dalam film ini bukan melulu tentang plot cerita, tapi ada sesuatu yang ingin disampaikan. Marvel membawa pesan tentang feminisme. Isu patriarki yang klasik dan masih susah untuk dikalahkan juga dibawakan di film ini. Sedikit banyak ada potongan skena yang menampilkan isu patriarki secara tersirat maupun tersurat.
Saat Vers sedang berlatih dengan teman dekatnya selama di Hela, Yon-Rogg (Jude Law), tampak Yon-Rogg mencoba menahan Vers untuk tidak mengeluarkan kekuatannya. Secara tersurat, Yon-Rogg mencoba membuat Vers menjadi lebih kuat tanpa kekuatannya itu. Secara tersirat, Yon-Rogg, sebagai laki-laki tidak ingin terlihat lebih lemah daripada wanita.
Memang terasa sangat relatable dengan kehidupan sehari-hari. Wanita didikte oleh laki-laki. Ditentukan apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan hanya karena merasa punya kekuasaan lebih tinggi dibanding gender lainnya. Dengan kedatangan Captain Marvel, muncul kemungkinan di mana wanita sebenarnya punya posisi yang sama. Bahkan kemungkinan Captain Marvel menjadi penyelamat bumi di Avenger: Endgame semakin memberi pengukuhan tentang itu.
Baiklah, saya tahu kalau Captain Marvel bukanlah yang pertama dan satu-satunya yang film yang mengangkat isu feminis. Bahkan untuk film pahlawan super pun ini bukan yang pertama. Tapi apa yang membedakan Captain Marvel dengan film lainnya, atau lebih spesifik, dengan Wonder Woman. Mari kita lihat dari sisi latar belakang kedua pemeran utama.

Diana (Wonder Woman) sejak lahir disiapkan untuk menjadi seorang kesatria. Tumbuh dengan latihan yang berat karena diberi beban yang besar untuk melindungi pulau Amazon. Diana tinggal di pulau yang hanya berisi wanita sampai akhirnya Steve Trevor datang di pulau itu.
Sedangkan Carol Danvers lahir dari manusia biasa. Tumbuh dari anak perempuan yang menyukai kegiatan yang banyak melibatkan bahaya fisik, sampai masuk ke dalam akademi angkatan udara. Dalam masanya dia menuju ke sana, dia menerima banyak cacian bahwa dia tidak cocok melakukan itu semua karena dia perempuan.
Dari dua latar belakang film yang berbeda, jelas pesan yang disampaikan memang berbeda. Wonder Woman mencoba menunjukkan bahwa wanita memang bisa sepenuhnya powerful tanpa membutuhkan laki-laki untuk melindungi. Mereka bahkan punya peran sendiri untuk menjaga ketentraman dunia ini. Sedangkan Captain Marvel mencoba menunjukkan bahwa wanita bisa menjadi apapun yang diinginkan dan bahkan melampauinya.
Manakah yang paling efektif? Tentu bukan itu parameter itu yang mestinya dikaji. Keduanya tentu bisa saja efektif atau tidak efektif, tapi mana yang paling cocok dengan tema cerita. DC Universe memang sejak lama menyajikan cerita yang lebih kompleks dengan suasana gambar yang lebih monochrome. Sedangkan MCU lebih banyak memberi warna-warna cerah dalam filmnya. Keduanya tentu memiliki target pasar masing-masih, dan yang jelas keduanya mencoba menyampaikan pesan yang masih dalam satu garis.
Masalah berikutnya yang banyak menjadi pertanyaan dari orang-orang adalah kostum. Beberapa orang mengatakan Captain Marvel tidak benar-benar menampilkan feminisme yang sebenarnya. Tidak seperti Wonder Woman yang banyak menampilkan bagian tubuhnya yang juga menunjukkan kebanggaan mereka terhadap bentuk tubuh mereka, kostum Captain Marvel mirip baju tentara angkatan udara yang tertutup dari ujung kaki sampai leher (sampai kepala apabila mode helm digunakan). Hal ini dikarenakan kostum ini adalah kostum yang digunakan Carol Danvers di komik Captain Marvel di tahun 2012 yang langsung terjual habis. Marvel Studio memutuskan menggunakan kostum itu karena dianggap salah satu pemicu Carol Danvers diterima oleh fans.
Secara keseluruhan film ini seperti momen buka puasa. Diharapkan datang begitu lama, setelah datang, yaudah gitu aja. Memang terasa enak di awal, tapi biasa aja setelah itu. Tapi di film ini ada banyak penjelasan cerita dari film-film MCU sebelumnya sebelum menuju Avenger: Endgame. Menonton film ini banyak menimbulkan respon “Oooh gitu” dan “Oooh gara-gara ini”.
Selain itu usaha mereka untuk menunjukkan pesan feminisme di film ini cukup bagus. Salah satu usahanya adalah menggunakan enam penulis perempuan dari jumlah tujuh orang penulis. Tujuannya adalah untuk dapat menunjukkan sudut pandang perempuan yang lebih kuat. Sayangnya terasa sangat tipis.
Kesimpulannya adalah kalau kalian orang yang antusias dengan semua film dari MCU, tentu kalian tidak akan meninggalkan film ini. Kalau kalian hanya mengikuti film-film MCU yang punya hype gede, tentu film ini bukan salah satunya. Kalau kalian ingin menikmati Avenger: Endgame dengan nyenyak tanpa bingung-bingung kenapa ini, kenapa itu, lebih baik menonton film ini. Paling tidak itu bakal mengurangi potensi kalian berisik nanya ke temen saat film diputar.
Comments