top of page
Search

(a Father of) a Man Called Ahok

  • Writer: Sang Protagonis
    Sang Protagonis
  • Nov 21, 2018
  • 3 min read

Judul film yang diumumkan beberapa hari setelah Basuki Tjahja Purnama dibawa ke Mako Brimob atas tuduhan penistaan agama. Tampaknya sangat menarik mengangkat cerita dari orang yang cukup kontroversial dan cukup berpengaruh untuk beberapa kelompok masyarakat. Saya sendiri mendengar pengumuman itu, cukup skeptis dengan kualitas film yang dihasilkan. Melihat pengaruh beliau di masyarakat tidak begitu terasa karena anggapan masyarakat indonesia yang merasa ada sentimen keagamaan atau pun ras yang membuat beliau tidak dapat seutuhnya dianggap oleh masyarakat menjadi pahlawan. Hal itu membuat saya merasa terlalu berlebihan dan terburu-buru untuk membuat biopic untuk pak Ahok. Tetapi skeptisisme saya terhadap karya ini tidaklah tepat. Bukan berarti film ini bisa menjawab skeptisisme saya dengan bagus, tapi karena film ini menyajikan cerita yang jauh berbeda dari ekspektasi saya.


Film ini menceritakan tentang bagaimana Ahok bisa punya kepribadian yang lantang dan keras seperti yang terlihat di kehidupan nyata saat ini. Film ini bukan Ahok sentris di mana ahok terlihat heroik dan menjadi pusat pusaran cerita itu sendiri, tapi pusat ceritanya lebih ke ayahnya yang sangat berpengaruh untuk kehidupan anak-anaknya. Cerita berawal dari masa kecil -atau remaja- dari Ahok. Ayahnya, Kim Nam, adalah pemilik tambang yang cukup sukses di Belitung dan dermawan. Sering diperlihatkan beberapa orang yang kurang beruntung, datang ke Kim Nam, meminta bantuan uang untuk kebutuhan mereka sendiri, seperti kebutuhan sekolah anaknya, biaya pengobatan dan semacamnya. Banyak di antara orang tersebut yang dibantu oleh Kim Nam. Dia pun selalu mencoba menanamkan nilai-nilai positif kepada anak-anaknya. Terlihat dia selalu mengatakan bahwa anak-anaknya akan memiliki gelar yang terhormat kelak saat mereka sudah dewasa. “Anak saya akan menjadi Bupati”, sambil menunjuk ke Ahok, “Dokter” sambil melihat ke arah adik laki-laki Ahok, “Lawyer” Sambil melihat ke arah Fifi, adik perempuan Ahok, “mereka yang akan memperbaiki kondisi di Belitung besok” kata Kim Nam dengan bangga. Sungguh tipikal orang tua Asia.


Di film ini diceritakan bahwa Ahok tidak hidup dengan gampang meskipun orang tuanya sudah sukses waktu itu. Dia ditempa oleh ayahnya untuk menjadi kuat dan tegas terhadap kecurangan yang dianggap wajar oleh orang lain. Terlihat sekali beliau menjadi tidak pandang bulu dalam mengambil tindakan karena tempaan yang keras dari ayahnya waktu itu. Mungkin kalau dia sukses di waktu lebih muda dan banyak kumpul dengan orang-orang kelas menengah ngehe dia salah satu yang suka bilang “anak sekarang lembek-lembek, cuman digituin doang udah ngeluh. Dulu waktu gue masih remaja…” diteruskan dengan kondisi yang dialami waktu itu.


Film ini ditujukan sebagai film yang mestinya ditonton bersama dengan keluarga. Banyak nilai-nilai positif kehidupan yang bisa dipelajari dari film ini. Akan tetapi, aneh saja membeli tiket untuk film berjudul A Man Called Ahok, tapi 70 cerita mengupas naik turun kehidupan ayahnya. Bahkan Daniel Mananta sendiri sebagai pemeran Ahok, sebagai satu-satunya karakter yang terpampang di poster film, hanya bermain di sepertiga film. Peran Ahok mulai terlihat setelah Ayah beliau meninggal dunia di film itu.


Selain peran Ahok dewasa dan sepak terjangnya yang terasa kurang dalam film ini, pemeranan di film ini sangat aneh. Denny Sumargo, berperan sebagai Kim Nam muda bersama dengan Ahok remaja. Penampilannya yang tinggi dan tampan sangat menarik dalam film ini. Dia bermain dengan meyakinkan menjadi orang yang bijaksana, tegas, namun tetap lembut kepada orang yang dirasa pantas diperlakukan seperti itu. Seiring berjalannya waktu, Ahok pun tumbuh dewasa dan badannya menjadi semakin tinggi. Berbanding terbalik dengan ayahnya yang menjadi semakin kurus dan pendek. Pergantian pemain dari Deny Sumargo sebagai Kim Nam muda digantikan oleh Kin Wah Chew sebagai Kim Nam tua terasa sangat tidak seimbang dari postur tubuh dan perawakan. Saya sendiri cukup mempertanyakan alasan pemilihan pemeran pada karakter ini.


Mungkin kalian yang belum menonton film ini akan coba mengunjungi IMDB untuk memastikan anda tidak salah memilih tontonan. Jangan terlalu terpincut dengan jumlah nilai yang muncul di sana. Terlalu banyak orang yang memberikan nilai tinggi secara tidak fair. Saya sendiri hanya memberi nilai 6/10 untuk film ini. Bukan film jelek sebenernya. Hanya ekspektasi yang ditawarkan tidak sesuai dengan yang diberikan saat menonton filmnya. Tapi tetap saja film ini layak mendapatkan 1 juta penonton selama masa penayangan.

 
 
 

Comments


Post: Blog2_Post

©2018 by protagonis. Proudly created with Wix.com

bottom of page